Busana Uskup


Pernahkah terlintas dalam pikiran Anda, siapa penjahit yang membuat jubah yang dipakai paus? Di Roma, di sebuah jalan kecil beberapa meter dari Gereja Santa Maria Sopra Minerva dekat Pantheon, ada sebuah toko kecil dengan papan nama bertuliskan Gammarelli, Sartoria Per Ecclesiastici. Sejak didirikan oleh Antonio Gammarelli pada tahun 1798, turun-temurun keluarga Gammarelli telah menjadi langganan para paus, dengan pengecualian Paus Pius XII (1939-1958) dan Paus Benediktus XVI. Paus Pius XII memilih menggunakan penjahit langganan keluarganya dan Paus Benediktus XVI tetap menggunakan penjahit yang sama yang telah melayaninya selama lebih dari 20 tahun.

Ada beberapa penjahit busana gereja di Roma, mulai dari EuroClero yang berlokasi di seberang Lapangan Santo Petrus, Barbiconi yang melayani order lewat internet, sampai ke Gammarelli yang terlihat sederhana namun bertabur bintang. Para penjahit ini bersuara satu saat bicara mengenai jubah klerus dan khususnya petinggi gereja. Semuanya taat pada aturan yang dikeluarkan Vatikan, termasuk Ut Sive Sollicite (Instruksi Sekretariat Negara Tentang Busana, Gelar dan Lambang Kardinal, Uskup serta Prelat Minor Lain) dan Caeremoniale Episcoporum (Ceremonial of Bishops atau Tata Upacara Para Uskup).

Gereja katolik memiliki tradisi busana yang indah dan sarat dengan makna simbolis. Sayangnya, tidak banyak orang yang tertarik mempelajari tradisi ini, yang sudah ratusan tahun umurnya. Artikel ini memang berjudul Busana Uskup, tapi apa yang akan saya sampaikan di sini dapat berguna bagi semua pihak, mulai dari uskup, imam, diakon sampai misdinar dan koster serta petugas liturgi lainnya.

Tradisi mengatur busana klerus dan petinggi gereja telah dimulai berabad-abad yang lalu. Aturan terakhir yang dikeluarkan pasca-Konsili Vatikan II menyederhanakan berbagai kemewahan yang dulunya ada. Sayangnya, dalam banyak kasus, penyederhanaan yang diamanatkan oleh para Bapa Konsili sering disalahtafsirkan. Keagungan dalam kesederhanaan (noble simplicity, nobili simplicitate) yang diamanatkan oleh Konstitusi Liturgi Sacrosanctum Concilium seringkali lalu menjadi kesederhanaan saja tanpa keagungan. Busana klerus pun menjadi sederhana dan tanpa keagungan yang harusnya nampak dari seorang pemimpin umat. Dari jubah lengkap dengan biretta menjadi hem batik dan bahkan kaos polo dengan topi baseball. Kita lupa, bahwa sungguhpun umat menghargai pemimpin yang bersahaja, umat juga rindu melihat pemimpinnya tampil sebagai pemimpin. Memang, negeri kita ini panas. Tapi jangan lupa, cuaca di kota Roma bisa jauh lebih panas dari Indonesia beberapa bulan dalam setahunnya, waktu musim panas. Kita toh tidak pernah melihat paus tampil tanpa jubah putihnya.

Mari kita masuk lebih dalam mengenai busana uskup. Aturan Vatikan yang berlaku sekarang pada dasarnya membagi membagi busana uskup menjadi 3 macam, busana liturgis, busana resmi dan busana sehari-hari.

Busana Liturgis (Choir Dress-Habitus Choralis)

Busana uskup untuk upacara liturgi gereja, di dalam dan di luar wilayah keuskupannya, adalah: jubah ungu setakat mata kaki; sabuk sutera ungu; rochet dari linen atau bahan sejenis (warna putih); mozeta (mantol kecil yang menutup pundak, dengan kancing di bagian depan) ungu; salib pektoral (salib dada) dengan tali anyaman warna hijau-emas (bukan dengan rantai); pileola (topi kecil yang juga dikenal dengan nama solideo) ungu; bireta (topi segi empat dengan pom) ungu; dan stocking/kaos kaki ungu. Foto di atas adalah Uskup Robert Vasa dari Baker, Oregon, USA, yang mengenakan busana liturgi lengkap. Yang tidak kelihatan hanya sabuk sutera dan kaos kaki ungu beliau.

Cappa magna (mantol kebesaran) ungu, tanpa bulu ermine, boleh dikenakan hanya di dalam wilayah keuskupan dan untuk perayaan-perayaan yang bersifat lebih agung. Uskup senantiasa mengenakan cincin, simbol kesetiaannya pada dan ikatan sucinya dengan Gereja, pengantinnya.

Gambar di sebelah kiri adalah detail dari jubah liturgis uskup warna ungu dengan mozeta dalam keadaan terpasang. Gambar di sebelah kanan adalah rochet, yang mirip dengan superpli namun berlengan sempit dan biasanya diberi pelapis sutera warna merah di bagian dalam lengan bawah. Rochet selalu dikenakan di atas jubah dan sabuk sutera ungu dan di bawah mozeta ungu, seperti tampak pada foto Uskup Robert Vasa di atas.

Uskup mengenakan busana di atas saat ia bepergian secara resmi ke atau dari suatu gereja, saat ia hadir pada suatu upacara liturgi (termasuk misa kudus dan berbagai pemberkatan) tapi tidak memimpinnya, dan pada saat lain yang ditentukan dalam Caeremoniale Episcoporum. Saat akan memimpin misa, Uskup yang tiba di gereja dengan busana liturgis di atas akan melepaskan cappa magna (bila dikenakan), salib pektoral, mozeta dan rochet, dan kemudian mengenakan amik, alba, singel, salib pektoral dengan tali anyaman warna hijau-emas, stola, dalmatik pontifikal (untuk misa agung) dan kasula serta pallium (khusus untuk metropolitan/uskup agung).

Busana Resmi (Untuk Acara Resmi Non-Liturgis)

Busana uskup untuk acara resmi non-liturgis adalah: jubah hitam setakat mata kaki dengan berbagai aksen merah (bukan ungu) di bagian tepi kain dan lubang kancing; paliola (mantol kecil yang menutup pundak, terbuka dan tanpa kancing di bagian depan) hitam dengan aksen merah (mantol ini opsional, boleh dikenakan boleh tidak); sabuk sutera ungu; salib pektoral dengan rantai; pileola ungu; collare ungu; stocking/kaos kaki ungu (kaos kaki ungu ini juga opsional). (lihat gambar)

Di daerah tropis, jubah dan paliola warna hitam dengan aksen merah ini sering diganti dengan putih atau krem muda dengan aksen merah. Ini praktik yang kita temui di Indonesia, di antaranya. Yang jelas, uskup dari negara tropis yang berkunjung ke Roma sebaiknya tidak mengenakan jubah warna putih, yang secara tradisi merupakan privilese paus. Catatan: menurut tradisi gereja katolik jubah warna hitam polos adalah untuk imam, ungu untuk uskup, merah untuk kardinal dan putih untuk paus.

Petasus (topi bertepi lebar) hitam, bila perlu, dapat ditambah dengan tali hijau. Ferraiolo (mantol panjang) dari sutera ungu hanya digunakan untuk acara-acara yang lebih resmi, misalnya wisuda di universitas katolik yang biasanya juga dihadiri uskup, berbagai acara kenegaraan dan lain-lain acara resmi non-liturgis. Jas/jaket panjang hitam biasa, yang dilengkapi penutup kepala sekalipun, boleh digunakan di atas busana resmi ini bila cuaca dingin mengharuskan.

Busana Sehari-hari

Busana uskup untuk keperluan sehari-hari adalah: jubah hitam polos setakat mata kaki (tanpa aksen merah); sabuk sutera ungu; salib pektoral dengan rantai; pileola ungu (opsional); collare ungu (opsional); stocking/kaos kaki hitam. Uskup yang berasal dari tarekat religius dapat mengenakan jubah institusinya. Cincin selalu dikenakan.

Mitra dan Tongkat Gembala

Mitra dan tongkat dapat dikenakan uskup pada berbagai upacara liturgi yang penting.

Pada prinsipnya mitra dikenakan uskup: saat duduk; saat menyampaikan homili; saat menyambut atau menyapa umat; saat berbicara kepada umat; saat menyampaikan ajakan untuk berdoa, kecuali bila sesaat sesudahnya ia harus melepasnya (untuk doa-doa tertentu); saat memberikan berkat meriah kepada umat; saat menerimakan sakramen; dan saat berjalan dalam prosesi.

Uskup tidak mengenakan mitra: selama ritus pembuka, doa pembuka, doa persembahan, dan doa sesudah komuni; selama doa umat, doa syukur agung, pembacaan injil, nyanyian yang dilagukan sambil berdiri, prosesi sakramen mahakudus; juga saat sakramen mahakudus ditakhtakan. Uskup tidak perlu menggunakan mitra dan tongkat saat ia berjalan dari satu tempat ke tempat lain yang dekat. Untuk mudahnya, mitra bisa dianalogikan dengan mahkota seorang raja. Raja akan mengenakan mahkotanya saat berhadapan dengan rakyat, tapi tidak saat berhadapan dengan Tuhan (saat berdoa, memimpin doa atau saat Tuhan hadir dalam rupa sakramen mahakudus).

Uskup selalu memegang tongkat dengan tangan kiri (dengan bagian yang melengkung menghadap ke umat) dan memberkati dengan tangan kanan.

Pileola, Mitra dan Tongkat dalam Perayaan Ekaristi

Pileola (topi kecil atau solideo) ungu senantiasa dikenakan uskup dalam berbagai acara liturgis, termasuk misa. Dalam misa, pileola hanya dilepas sesaat sebelum prefasi dimulai dan dikenakan kembali saat uskup duduk setelah komuni selesai.

Dalam misa, mitra dan tongkat mulai dikenakan di sakristi, setelah selesai mengenakan kasula dan pileola. Pada akhir prosesi masuk gereja, sesampainya di panti imam, tongkat diserahkan dan mitra dilepas, kemudian uskup memberikan penghormatan kepada sakramen mahakudus (bila ada, dengan berkutut) dan/atau altar (dengan membungkuk dalam), serta mencium altar bersama-sama dengan diakon (atau imam) yang mendampinginya.

Pada prinsipnya, mitra dipasang dan dilepas oleh diakon (atau imam) yang berada di sebelah kanan uskup, sementara tongkat diserahkan dan diambil oleh diakon (atau imam) yang berada di sebelah kiri uskup. Pada umumnya pileola dipasang dan dilepas oleh diakon (atau imam atau sekretaris pribadi uskup) yang berada di sebelah kiri belakangnya. Magister caeremoniarum dapat melaksanakan semua ini, bila dikehendaki. Diakon, imam, atau magister caeremoniarum, menerima/menyerahkan pileola, mitra dan tongkat dari/kepada misdinar yang mengenakan vimpa.

Mayoritas imam atau diakon biasanya segan memasang dan melepas mitra dan pileola ini, karena menyangkut kepala uskup. Uskup pun mungkin merasa bisa melakukannya sendiri. Akan tetapi, ya beginilah seharusnya seorang pemimpin, dilayani oleh para pembantunya, setidaknya, saat upacara liturgi atau acara resmi lain di depan umum. Ini masalah kebiasaan saja sebenarnya, bukan soal tidak ingin dilayani. Uskup atau imam yang cuci tangan sebelum konsekrasi juga dilayani oleh misdinar, meski sebenarnya mereka bisa saja datang ke meja samping dan cuci tangan sendiri.

Setelah membaca ini semua, apa yang dapat dipetik oleh pembaca yang bukan uskup atau pembantu uskup? Ini sekedar contoh saja. Makin banyak pelayan komuni tak lazim yang mengenakan alba dan singel, kemudian juga mengenakan salib dada. Nah, salib dada ini menurut tradisi gereja katolik hanya dikenakan oleh uskup. Lagi, di banyak gereja kita melihat misdinar mengenakan jubah, superpli dan mantol kecil penutup pundak yang mirip paliola atau mozeta. Nah, itu juga asesori yang hanya dipakai oleh uskup. Monsignor (pejabat tinggi gereja) yang bukan uskup pun tidak mengenakan salib dada dan paliola atau mozeta. Ini semua ada di aturan detil yang dikeluarkan Vatikan. Semoga dengan membaca artikel ini, banyak pengetahuan baru yang didapat dan bisa dipakai untuk membetulkan praktik-praktik yang kurang pas selama ini.

Catatan: Artikel ini dimuat dalam Majalah Liturgi yang diterbitkan oleh Komisi Liturgi KWI, Vol 20 No 1 - Jan-Feb 2009.

Catatan: Saya punya versi lain dari tulisan ini, berjudul Panduan Praktis Busana Uskup, lengkap dengan foto tentunya. Juga, saya pernah buat Panduan Praktis Pemakaian Mitra dan Tongkat dalam Misa Kudus. Kedua panduan ini saya bikin untuk Uskup Surabaya Vincentius Sutikno Wisaksono, gembala saya. Dengan senang hati akan saya kirimkan kepada uskup lain atau siapapun yang berminat. Silakan kontak saya di tradisi.katolik[at]gmail.com.

4 comments:

  1. Ternyata ada seni disetiap praktik yg dilakukan, setelah 20 tahun menjadi seorang Katolik saya baru benar2 menyadari itu sekarang. Thx untuk postingan yg sangat menarik ini... :)

    ReplyDelete
  2. Pak Albert, saya ingin bertanya mengenai salib pektoral paus. Bila diperhatikan, paus-paus sebelum Paus Fransiskus (terutama Paus Benediktus dan mungkin juga pendahulunya) mengenakan salib pektoral dengan tali berwarna keemasan pada busana non-liturgi, meskipun ukurannya lebih kecil dibandingkan dgn yg digunakan pada busana liturgi. Apakah tali tsb adalah privilege paus? Ataukah semua uskup bisa mengenakannya?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sejauh yang saya tahu, tidak, Pak. Rantai emas atau perak untuk salib pektoral yang dipakai bersama busana formal non-liturgis dapat dikenakan oleh semua uskup.

      Delete