Mission San Jose, Fremont, CA, USA (Foto: wordsonstone.wordpress.com) |
Akhir 2011 yang lalu saya pergi nengok anak perempuan saya yang kuliah di dekat San Francisco, California, Amerika Serikat. Bersama keluarga, saya tinggal di rumah kakak ipar saya di kota Fremont, 45 menit ke arah tenggara San Francisco. Mungkin sama dengan Jakarta-Bogor lah, kalau tanpa macet. Dalam kunjungan kali ini, tiga minggu saya berkesempatan melihat dua paroki yang sungguh berbeda. Itulah yang akan saya bagi kali ini.
Rumah kakak ipar saya hanya dua ratus meter jaraknya dari sebuah kompleks gereja tua, Mission San Jose Church atau Gereja Misi Santo Yosep (foto atas) di Fremont. Gereja ini didirikan tahun 1797 oleh imam-imam Fransiskan dari Spanyol, yang datang ke California bersama para serdadu Spanyol. Memang begitulah, serdadunya dikirim Raja Spanyol untuk menemukan dunia baru, klerusnya pun menyertai untuk membawa kabar gembira bagi warga dunia baru. Keseluruhannya ada 22 Gereja Misi di California yang didirikan para imam Fransiskan. California adalah negara bagian Amerika Serikat yang memiliki sejarah sangat dekat dengan misi Gereja Katolik. Mungkin kita tidak sadar, beberapa nama kota di sana sungguh amat Katolik. Ada San Francisco (Santo Fransiskus-dari Asisi), Los Angeles (Kota Para Malaikat), San Diego (Santo Didacus-dari Alcala), San Jose (Santo Yosep) dan puluhan lagi lainnya. Dalam Bahasa Spanyol memang, kan mereka yang mendirikan.
Bangunan gereja Mission San Jose yang ada di foto di atas (klik di sini untuk foto-foto lainnya) adalah hasil restorasi dari bangunan aslinya yang hancur karena gempa bumi dan kebakaran. Bangunan gereja kuno itu saat ini masih dipakai, tapi hanya untuk Misa harian, agar tidak cepat rusak. Di sebelah bangunan gereja kuno itu sudah didirikan bangunan gereja baru yang lebih besar, yang saat ini dipakai untuk kegiatan umat paroki setempat. Bangunan gereja barunya, seperti layaknya bangunan gereja baru ukuran sedang di Amerika, berarsitektur modern minimalis dan terang benderang. Mirip aula besar, minus kesan agung dan sakral yang ada di bangunan gereja kunonya.
Paroki Mission San Jose ini saya kategorikan saja sebagai paroki yang "modern", meski saya sendiri kurang sreg dengan label ini. Misa harian pukul 8:00 di gereja kunonya dihadiri 30-an orang. Beberapa kali saya ikutan. Hangat dan akrab suasananya. Di dalam gereja kuno yang indah, temaram dan sakral itu, umat dengan santai mengobrol sebelum dan sesudah Misa. Imamnya pun ikutan. Saya sebenarnya merasa kurang sreg, tapi toh saya masih berusaha mencari pembenarannya. Mungkin karena di luar gereja hawanya dingin. Sekitar 5-10 derajat Celcius di musim dingin. Liturgi di Misa harian gereja ini agak tidak lazim. Ada beberapa penyimpangan serius dari aturan. Satu contoh yang menonjol, dari awal Misa sampai akhir Liturgi Sabda, imamnya duduk di bangku umat paling depan. Baru saat Liturgi Ekaristi beliau naik ke panti imam. Selesai bagi komuni dan beres-beres, beliau duduk kembali di bangku umat. Nggak pas, nggak sesuai dengan fungsinya sebagai pemimpin ibadat. Misa hari Minggunya, yang diadakan di bangunan gereja yang baru, pun bersuasana meriah dan hangat. Untuk yang ini imamnya duduk di kursi presiden, seperti yang seharusnya. Kesan singkat saya, paroki ini hidup. Umatnya akrab satu sama lain dan tampak menikmati interaksi antar mereka, termasuk ngobrol dan tertawa-tawa di dalam bangunan gereja setelah Misa.
Ada sebuah paroki lain yang beberapa kali saya datangi juga, kira-kira 15 menit bermobil dari rumah kakak ipar saya. Tepatnya di kota Santa Clara, di bagian selatan Lembah Silikon, pusat teknologi informasi Amerika. Paroki Our Lady of Peace atau Ratu Damai namanya. Lokasinya tidak jauh dari Kantor Yahoo!, perusahaan teknologi kondang yang kita kenal. Bangunan gereja mereka termasuk baru (foto samping). Dari luar sepintas mirip dengan bangunan baru Gereja Mission San Jose di atas. Bagian dalamnya aja yang beda. Tidak terlalu nampak modern minimalis. Tidak terang benderang, malahan cenderung gelap dan temaram. Suasana di dalam gereja ini sungguh sakral. Tidak ada yang tampak mengobrol. Semuanya dalam suasana doa atau setidaknya diam khidmat. Agak kontras dengan paroki tetangga di atas. Di dalam gereja ini ada adorasi abadi yang sudah berlangsung lebih dari 30 tahun. Monstrans-nya (Tempat Mentakhtakan Sakramen Mahakudus) diletakkan di atas Tabernakel yang ada di poros tengah panti imam. Ada tirai kecil untuk menutup monstrans ini saat Misa berlangsung.
Suasana Misa di Gereja Our Lady of Peace ini pun kontras dengan Gereja Mission San Jose. Kedua gereja ini memang sama-sama menggunakan organ pipa elektrik (bukan organ pipa asli). Tapi, yang satu banyak dimainkan mengiringi lagu-lagu bernuansa gembira, sedang yang lain mengiringi lagu-lagu yang syahdu dan khidmat. Gereja yang satu menggunakan misdinar perempuan, yang lain hanya laki-laki saja, dengan busana sesuai tradisi pula, jubah hitam atau merah dengan superpli putih.
Gereja Mission San Jose menggunakan Pelayan Komuni Tak Lazim Wanita, Gereja Our Lady of Peace mendayagunakan imam-imam yang tidak sedang mempersembahkan Misa. Gereja Our Lady of Peace hanya punya tiga imam saja. Kalau yang seorang mempersembahkan Misa, dua yang lain akan muncul membantu kala tiba saatnya membagi komuni. Keduanya memakai jubah imam warna hitam, superpli putih dan stola. Memang, masih ada suster-suster mereka yang juga membantu membagi komuni, tapi saya tidak melihat ada umat awam jadi Asisten Imam atau Pro-Diakon. Oh ya, saat tidak membagi komuni, kedua imam yang tidak mempersembahkan Misa ini berada di kamar pengakuan, menerima umat yang antri mengaku dosa, bahkan selama Misa berlangsung.
Penerimaan komuni di Gereja Our Lady of Peace hanya dilakukan dengan berlutut. Disediakan dua tempat berlutut panjang di depan altar, sekaligus menjadi pemisah panti imam dan bangku umat. Semua umat diharuskan berlutut di tempat itu, kecuali yang punya masalah kesehatan. Sebagian besar umat menerima komuni di lidah. Sisanya menerima di tangan seperti kebanyakan umat Indonesia, tetap sambil berlutut. Bagi saya, berlutut saat menerima komuni ini sungguh logis. Saat konsekrasi kita melihat Tubuh Kristus dari kejauhan sambil berlutut menghormati. Saat berada begitu dekat dengan Kristus, kenapa kita malah berdiri? Kalau Kristus benar-benar ada di depan Anda, tidakkah Anda tersungkur dan menyembah-Nya? Masihkah kita yakin bahwa itu roti itu benar-benar adalah Kristus? Bukan sekedar roti yang melambangkan Tubuh Kristus, tapi benar-benar adalah Tubuh Kristus?
Banyakkah umat yang datang ke Gereja Our Lady of Peace yang saya sebut "tradisional" ini? Luar biasa. Misa hariannya ada 3 kali. Di hari Rabu malah 4 kali, juga di hari Jumat pertama. Misa hari Minggu plus Sabtu malam jumlahnya 9 kali. Gerejanya hampir selalu penuh. Dari info yang saya dapat, lebih banyak di antara mereka yang berasal dari paroki lain. Apa karena imam-imam di situ pandai berhomili? Tidak juga. Pastor Kepala Parokinya yang bukan orang kulit putih berbicara Bahasa Inggris dengan aksen asing. Homilinya biasa dan tidak terlalu terstruktur. Pastor pembantu yang muda juga biasa-biasa saja. Pastor pembantu yang lebih tua bisa dibilang paling bagus, tapi homilinya lama dan diulang-ulang. Satu saja yang sama dari mereka semuanya. Berani galak dan disiplin. Saat ada bunyi HP, mereka berhenti bicara dan menegur. Hampir satu gereja menoleh ke umat yang HP-nya bunyi. Oh ya, mereka menjelaskan bacaan-bacaan dengan gaya yang kalem tapi mantap. Nggak ada yang pakai gaya jurkam partai yang dialogis dan minta jawaban aklamatif dari umat, atau gaya pelawak yang mengundang tepuk tangan umat.
Hampir bisa dipastikan, Gereja Our Lady of Peace ini penuh bukan karena homili imamnya. Bisa jadi sebenarnya ada lebih banyak umat yang tidak sreg dengan "liturgi" partisipatif yang sentimental ala Gereja Evangelical dan Pentecostal yang belakangan dibawa segelintir orang masuk ke Gereja Katolik. Bisa jadi, ada lebih banyak umat yang merasa lebih bisa menemukan Tuhan dalam keheningan daripada dalam suasana hingar bingar. Mungkin ada lebih banyak umat yang ingin imamnya patuh pada aturan. Mungkin ada lebih banyak umat yang memilih kembali kepada tradisi luhur Gereja Katolik. Mungkin saya salah. Tapi kalau benar yang saya pikirkan, para imam di Indonesia tidak perlu kawatir kehilangan umat karena menolak kreativitas sekelompok orang yang merasa bosan dengan liturgi Gereja Katolik. Tetaplah setia kepada aturan liturgi dan tradisi Gereja kita sendiri. Seperti arahan Paus Benedictus XVI berkaitan dengan hal ini, "... I would say that a participative liturgy is important, but one that's not sentimental. Worship must not be simply an expression of sentiments, but raise up the presence and the mystery of God into which we enter and by which we allow ourselves to be formed." Paus sendiri tidak kawatir kehilangan umat, dan mengatakan, "We know that some return to the Catholic Church, or they move from one of these communities to the other. Thus, we don't need to imitate these communities ..." (Paus Benedictus XVI, Press Conference 18 Nov 2011)
Tuhan telah membuka mata saya. Saya pun telah membagi apa yang saya lihat di sini, plus menyertakan analisis singkat sebisa saya. Semoga tulisan ini dapat menjadi bahan renungan bersama.
Pak Robeet Wibisono, terima kasih banyak, postingannya. Sangat bermanfaat informasinya.
ReplyDeleteKembali Romo/Bapak/Ibu.
Deleteciao signore!
ReplyDeletewow.. thanks pak albert. infonya sangat membuka wawasan kita dalam berliturgi.
ada hal yang mau saya tanyakan? apakah Ceremonials of Bishops (CB) ada terjemahannya dalam bahasa indonesia? jujur saya tertarik untuk mendalami lagi tentang buku ini, terutama tentang liturgi-liturgi yang ada di Gereja KAtolik. saya sendiri baru mendengar referensi buku CB saat membaca rundown pekan suci milik paroki Algonz.
Grazie. Ciao!
Terima kasih kembali Bapak.
DeleteApostolic Nunciature (Kedutaan Besar Vatikan) di Jakarta pernah menerjemahkan beberapa bagian paling mendasar dari Buku Caeremoniale Episcoporum ke dalam Bahasa Indonesia.
Saya bersedia membantu, bila memang Bapak tertarik mempelajari liturgi suci Gereja kita. Saya akan menjadi nara sumber dalam Workshop tentang Lagu Gregorian di Paroki Algonz Surabaya, 29 April 2012, 10:00-12:00. Kalau mau, Bapak dapat menemui saya usai workshop, biasanya sekitar 12:30. Atau Bapak boleh juga ikut workshopnya kalau memang mau. Saya yakin panitia tidak keberatan.
Nice post.
ReplyDeleteMakasih infonya pak.
Sama-sama.
DeleteSalam,
albert
Salam, Pak Albert. Perkenankan sy bertanya. Pertama, seandainya pd suatu missa, ternyata sang selebran salah dlm penggunaan busana liturgis, misalnya menggunakan stola diatas kasula alih2 meletakkannya dibawah kasula atau juga, kdng ada seorang selebran yg tidak mengenakan alba dibawah stola dn kasula yg ia kenakan, kira2 harus bersikap sprti apakah saya? Apakah membiarkan begitu saja smpai missa berakhir?
ReplyDeletePrtanyaan kedua, apakah missa yg selebrannya salah busana liturgisnya, tetap bisa dikatakan sah(licit)?
Prtanyaan ketiga, apakah author memiliki intensi utk membahas perihal ttg missa kudus dlm bentuk luarbiasa?(1962 atau sbelumnya) ataupun peran2 dlm missa tsb? sperti diaken dan subdiaken, atau juga diaken kehormatan dlm missa pontifikal tradisional.
Mohon berkenan utk menanggapi prtanyaan sy ini, mohon maaf jika didapati kslahan kata. Salam.
Salam Pak Ipang:
Delete1. Tidak apa, Pak. Di Roma sekalipun, bisa terjadi kasus-kasus demikan.
2. Bisa, Pak.
3. Belum, Pak. Masih banyak hal lain yang lebih perlu diprioritaskan.
Salam,
albert