Partisipasi Aktif Mendengarkan


Misa di Vatikan: Umat Mendengarkan Bacaan (Foto: Corbis)

Konsili Vatikan II mengamanatkan partisipasi umat beriman yang penuh, sadar, dan aktif dalam perayaan-perayaan liturgi (bdk. Sacrosanctum Concilium 14-20). Pasca konsili dan sampai hari ini, partisipasi aktif pun dibahas dan diusahakan di banyak tempat.

Bicara partisipasi aktif dalam Misa, banyak orang langsung memikirkan partisipasi dalam hal menyanyi, menjawab aklamasi-aklamasi dan juga tata gerak: berdiri, berlutut, duduk, dan sebagainya. Mungkin belum banyak yang terpikir, bahwa ada bentuk partisipasi aktif lain yang tidak kalah pentingnya: mendengarkan. Bisa jadi mendengarkan adalah bentuk partisipasi aktif yang paling sulit dilakukan. Kadang lebih mudah bagi kita untuk bicara dan bergerak daripada diam dan mendengarkan.

Paus Franciscus: Hening Pasca Homili
Pesta Salib Suci 2014 (Foto: Corbis)
Hal diam dan hening. Sesungguhnya, dalam Misa ada banyak waktu di mana kita diminta untuk diam dan hening. Mari kita cermati kutipan PUMR 45 ini, “Beberapa kali dalam Misa hendaknya diadakan saat hening. Saat hening juga merupakan bagian perayaan, tetapi arti dan maksudnya berbeda-beda menurut makna bagian yang bersangkutan. Sebelum pernyataan tobat umat mawas diri, dan sesudah ajakan untuk doa pembuka umat berdoa dalam hati. Sesudah bacaan dan homili umat merenungkan sebentar amanat yang telah didengar. Sesudah komuni umat memuji Tuhan dan berdoa dalam hati. Bahkan sebelum perayaan Ekaristi, dianjurkan agar keheningan dilaksanakan dalam gereja, di sakristi, dan di area sekitar gereja, sehingga seluruh umat dapat menyiapkan diri untuk melaksanakan ibadat dengan cara yang khidmat dan tepat.” Paus Franciscus secara mencolok mengaplikasikan hal ini dalam Misa yang beliau pimpin; beliau mengadakan saat-saat hening yang masing-masing cukup panjang waktunya dan benar-benar khusyuk.

Paus Benedictus XVI: Pembacaan Injil
Natal 2009 (Foto: Corbis)
Hal partisipasi aktif mendengarkan. Banyak yang mungkin tidak sadar, bahwa sikap yang paling benar saat Sabda Allah dibacakan adalah mendengarkan dan bukan membaca sendiri dari Teks Misa atau Kitab Suci. Dengan mendengarkan, kita menunjukkan penghormatan pada Sabda Allah yang dibacakan. Pernahkah Anda nonton film, Barat atau Timur, di mana ada utusan raja yang membacakan sabda sang raja kepada sekelompok orang? Bagaimana sikap mereka saat sabda sang raja dibacakan? Ada aturan atau tradisi budaya di mana orang berlutut dengan satu kaki ditekuk; ada juga yang menundukkan kepala; atau cukup dengan berdiri berdiam saja. Yang pasti, semuanya mendengarkan dengan takzim. Nah, itu baru sabda raja, belum Sabda Allah. Kalau Anda melihat foto Paus Benedictus XVI berdiri tanpa mitra atau mahkotanya, dan memegang tongkat salibnya dengan dua tangan sambil menundukkan kepala dan memejamkan mata penuh penghayatan seperti foto di atas, hampir bisa dipastikan foto itu diambil saat beliau mendengarkan pembacaan Injil. Di Indonesia, saya pernah melihat seorang imam yang dengan sengaja memiringkan duduknya, menghadap ke arah lektor di mimbar, memperhatikan dan mendengarkannya dengan penuh hormat.

Sebagai penutup, Beato Paus Yohanes Paulus II pernah mengajarkan hal ini “... partisipasi aktif tidak menghalangi kepasifan yang aktif dari kesunyian, keheningan dan mendengarkan: sebaliknya, ia justru menuntutnya. Umat tidak pasif, misalnya, saat mendengarkan bacaan atau homili, saat menyimak doa-doa imam selebran, lagu serta musik dalam liturgi. Kesemuanya itu adalah pengalaman kesunyian dan keheningan, tetapi itu semua sungguh sangatlah aktif.” (Kutipan dari Pengarahan untuk Para Uskup Amerika Serikat saat Kunjungan Ad Limina 1998)

Catatan: Artikel ini dimuat dalam Majalah Liturgi yang diterbitkan oleh Komisi Liturgi KWI, Vol 24 No 4 - Okt-Des 2013.

No comments:

Post a Comment