(Foto: Corbis) |
Dalam Penanggalan Liturgi, Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) telah mencantumkan 17 Agustus sebagai suatu "Hari Raya" atau "Solemnitas" dalam Bahasa Latinnya. Apa artinya? Artinya, sungguh baik lah kalau pada tanggal 17 Agustus umat Katolik di Indonesia mengikuti Misa Kudus yang dirayakan dengan kemeriahan yang setingkat dengan "Hari Raya" yang lain.
Di tahun 2016, 17 Agustus jatuh pada hari Rabu; haruskah kita pergi ke gereja? Iya! Bukankah sebagian dari kita harus ikut upacara bendera di kantor, di sekolah/kampus atau di tempat lain? Seperti kata Yesus dalam bacaan Injil hari itu, "Berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah."
Tapi, pertama-tama, kenapa kita merayakan Ekaristi pada Peringatan Ulang Tahun Kemerdekaan? Jawabnya, sama seperti ketika kita merayakan Ekaristi pada hari-hari yang lain. "Ekaristi adalah kurban syukur kepada Bapa. Ia adalah pujian, yang olehnya Gereja menyatakan terima kasihnya kepada Allah untuk segala kebaikan-Nya ..." (Katekismus Gereja Katolik 1360) Jadi, merayakan Ekaristi di Hari Raya Kemerdekaan RI adalah ungkapan syukur dan pujian kita umat Katolik Indonesia kepada Bapa atas anugerah kemerdekaan bagi kita.
Berikutnya, bagaimana Misa di hari itu dirayakan? Ya sama dengan Misa di hari-hari raya yang lain. Pada suatu Misa di "Hari Raya" ada dua bacaan plus Injil; Kemuliaan diucapkan; Aku Percaya diucapkan; bisa digunakan lilin altar sebanyak 6 buah; bisa pula digunakan dupa; gedung gereja pun bisa dihiasi dengan bunga secara lebih indah dari biasanya; dan lain sebagainya, yang kesemuanya menunjukkan bahwa hari itu bukanlah suatu hari yang biasa.
Di beberapa tempat, ada yang memasukkan penghormatan bendera merah putih di dalam Misa. Pertanyaannya, untuk apa? Misa kan ungkapan syukur dan pujian kepada Bapa? Apa relevansi menghormati bendera dalam ritual syukur dan pujian kepada Bapa? Ada pula yang memasukkan pembacaan teks Pancasila dan Pembukaan UUD 1945. Hmmm. Ini kan bukan upacara bendera? Tentang hal ini, Vatikan sudah memberikan wejangan, "... perlu dihindarkan suatu Perayaan Ekaristi yang hanya dilangsungkan sebagai pertunjukan atau menurut gaya upacara-upacara lain, termasuk upacara-upacara profan: agar Ekaristi tidak akan kehilangan artinya yang otentik." (Redemptionis Sacramentum 78) Jadi, hindarkanlah merayakan Ekaristi seperti merayakan upacara bendera, agar Ekaristi tidak kehilangan artinya yang otentik, yang di antaranya adalah kurban syukur dan pujian kepada Bapa.
Bagaimana dengan lagu-lagunya? Ada beberapa lagu liturgis untuk Nusa dan Bangsa di Puji Syukur nomor 704-707. Bisa juga digunakan lagu-lagu lain bertemakan pujian dan syukur di nomor 664-681. Bolehkan kita menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya dan lagu-lagu perjuangan lainnya? Pertanyaannya, apakah itu lagu-lagu yang liturgis dan sesuai untuk ritual suci melambungkan syukur dan pujian kepada Allah? Kalau jawabnya tidak, maka tidak ada manfaatnya menyanyikan lagu-lagu tersebut dalam Misa dan malahan bisa mengaburkan makna Ekaristi. Silakan baca ulang kutipan dokumen Vatikan di paragraf di atas.
Kreativitas dalam merayakan Ekaristi pada Peringatan Ulang Tahun Kemerdekaan bukan sama sekali ditabukan. Silakan direncanakan dengan baik dan cermat, dalam koridor norma-norma yang berlaku. Perlu diingat kembali hakikat perayaan suci ini dan jangan sampai pernak-pernik atau tambahan-tambahan kreativitas di dalamnya malahan mengaburkan makna dan tujuan perayaan ini dan/atau mengalihkan perhatian kita dari Kristus, yang harusnya menjadi pusat perayaan suci ini.
Selamat memperingati Ulang Tahun Kemerdekaan RI. Jangan lupa ikut Misa. Mari kita panjatkan syukur dan pujian kepada Allah Bapa yang mahabaik, yang telah menganugerahkan kemerdekaan dan kebebasan kepada bangsa kita.
Tambahan:
Untuk Misa di Hari Raya Kemerdekaan RI digunakan bacaan-bacaan seturut penanggalan liturgi. Baik juga jika digunakan Prefasi Tanah Air (TPE Imam, hal 104-106) dan Doa Pembuka seperti di bawah ini (Sumber: Misale Romawi - Untuk Nusa dan Bangsa):
Doa Pembuka
Ya Allah,
Engkau mengatur alam semesta
menurut rencana yang mengagumkan.
Dengarkanlah dengan rela
doa-doa kami untuk tanah air kami.
Semoga berkat kebijaksanaan para pemimpin
dan keluhuran pribadi para warga
kerukunan dan keadilan diteguhkan
dan terwujudlah kesejahteraan dalam damai.
Dengan pengantaraan Yesus Kristus, Putra-Mu, Tuhan kami,
yang bersama dengan Dikau dalam persatuan Roh Kudus
hidup dan berkuasa, Allah, sepanjang segala masa.
apakah 'Hari Raya' kemerdekaan ini sudah resmi disetujui vatikan dalam kalender liturgi, apa hanya dibuat oleh KWI? maksudnya inikan peringatan sekular bukan liturgical begitu, terimakasih
ReplyDeleteKemerdekaan suatu bangsa memang bisa dirayakan "secara sekuler", tetapi Kurban Misa Kudus sebagai ungkapan syukur kepada Allah atas kemerdekaan suatu bangsa adalah sebuah perayaan liturgi Gereja (partikular).
DeletePenanggalan Liturgi dapat dibuat oleh berbagai pihak, dengan mengindahkan aturan-aturan Gereja universal. Berikut ini saya kutipkan sebuah contoh aturan Vatikan yang termuat dalam Norma-Norma Universal Tahun dan Penanggalan Liturgi No. 51:
"Meskipun setiap keuskupan boleh mempunyai penanggalan khusus dengan rumus-rumus khusus untuk Ibadat Harian dan Misa, namun – dengan kerjasama semua pihak yang bersangkutan atau berminat –, suatu propinsi atau daerah gerejawi, atau suatu bangsa ataupun wilayah yang lebih luas lagi, boleh menyusun penanggalan liturgi dan rumus-rumus khusus yang berlaku untuk mereka semua. ..."