Kita tahu kasula adalah busana terluar yang dikenakan imam saat Misa. Apa sebenarnya kasula itu? Apa bedanya dengan pluviale, yang dikenal juga dengan nama korkap atau choir cape? Bagaimana kedua busana ini berkembang dari jaman ke jaman, dari abad-abad pertama kekristenan sampai hari ini, dan bagaimana bentuk-bentuknya? Kapan imam mengenakan kasula dan kapan pluviale? Berikut ini akan saya bahas secara singkat.
Paenula |
Para pakar busana Gereja sepakat bahwa cikal bakal kasula adalah busana sehari-hari yang disebut paenula (lihat gambar di atas), yang dikenakan oleh semua orang, baik klerus maupun awam. Norris, dalam bukunya Church Vestments: Their Origin and Development, 1949, menyebut bahwa sejak abad keenam sebelum Masehi, paenula telah dikenakan sebagai busana sehari-hari oleh orang-orang Yunani klasik. Orang-orang Romawi jaman republik pun kemudian mengadopsi busana ini. Mantol yang terbuat dari kain tebal--dan dalam beberapa kasus dari kulit binatang--ini umumnya dilengkapi dengan penutup kepala. Paenula adalah busana yang nyaman dikenakan untuk bepergian, baik oleh pria maupun wanita. Paenula dibuat dari kain berbentuk setengah lingkaran, yang kemudian dilipat dan disatukan di bagian depannya (lihat diagram di bawah ini).
Diagram Paenula |
Jubah yang ditinggalkan Santo Paulus di Troas (bdk. 2 Tim 4:13) adalah paenula. Dalam penjara yang dingin di Roma, dapat dimengerti bahwa ia membutuhkan pakaian hangat. Silvester, Uskup Roma (314-315), menyerukan agar paenula dikenakan oleh uskup yang baru ditahbiskan sebagai busana untuk bepergian, dan juga untuk menjalankan ritual-ritual Gereja, bahkan termasuk juga waktu mempersembahkan Ekaristi. St. Martinus, Uskup Tours (371-397), biasa mengenakan tunik dan paenula dalam berbagai kesempatan. Saat bepergian dengan kuda, ia mengenakan paenula ekstra lebar yang disebut amphibalus, yang menutupi seluruh bagian tubuhnya dan juga bagian belakang kuda tunggangannya. Di altar, St. Martinus mengenakan tunik dan paenula lain yang bersih dan indah. Contoh-contoh pengenaan busana ini kita dapat dari berbagai karya seni peninggalan kuno, seperti mosaik dari awal kekristenan sampai ke gambar-gambar di tembok, kayu, kanvas, karpet, maupun media-media lain.
Berbagai macam Paenula |
St. Agustinus dari Hippo (354-430), menulis tentang busana yang dikenakannya sendiri, yaitu kasula. Sedikit berbeda dengan paenula, kasula terbuat dari 2/3 bagian setengah lingkaran (lihat diagram di bawah). Selanjutnya, di abad kelima muncul pula planeta yang tidak hanya terbuat dari setengah lingkaran namun lebih dari itu, ada 1/3 dari setengah lingkaran lagi sebagai tambahan, sehingga busana ini makin lebar dan anggun. Dalam diagram di bawah ini ada 13 sketsa kasula dari berbagai jaman dan daerah, mulai dari model paenula yang agung sampai fiddle-back yang minimalis.
Diagram Kasula |
Diagram Planeta |
Sketsa Kasula dari berbagai jaman dan daerah |
Ketika kita memperhatikan bentuk potongan kasula-kasula kuno, baik model paenula ataupun planeta, kita menemukan kemiripan dengan pluviale yang hari ini dikenakan oleh klerus jaman modern. Apa sebenarnya beda antara kasula dan pluviale? Para pakar, termasuk Norris, mengatakan bahwa pluviale pada dasarnya adalah kasula yang tidak dijahit di bagian depannya, dibiarkan tetap terbuka, dan disatukan dengan sebuah metal yang disebut morse. Memang, dalam perkembangannya kasula lalu kehilangan bagian penutup kepala dan pluviale tetap dilengkapi dengan penutup kepala, meski bentuk dan fungsinya lalu mengalami perubahan. Penutup kepala ini akhirnya hanya menjadi hiasan semata dan tidak lagi dapat dikenakan menutupi kepala, seperti yang terlihat di bagian belakang pluviale-pluviale yang biasa kita lihat (lihat contoh gambar di bawah ini).
Perkembangan penutup kepala pada Pluviale |
Pluviale model tradisional (kiri) dan model Prancis (kanan) |
Pedoman Umum Misale Romawi menyebut bahwa “Busana khusus bagi imam selebran dalam Misa ialah ‘kasula’ atau planeta. ...” (PUMR 337) Lebih lanjut, ditulis bahwa “... dalam perayaan liturgi lainnya yang langsung berhubungan dengan Misa, kecuali kalau ada peraturan lain,” pun dikenakan kasula. Contoh untuk ini adalah prosesi Minggu Palma. Kalau yang dipilih ritual dengan upacara masuk meriah atau sederhana, kasula boleh saja dikenakan imam sejak awal prosesi. Tetapi bila yang dipilih adalah ritual dengan Perarakan meriah, ada baiknya imam mengenakan pluviale selama perarakan dan berganti kasula di panti imam saat ia tiba di sana--ini yang biasa dilakukan Paus.
Kasula memang hanya dikenakan untuk Misa. Sebaliknya, dari berbagai rubrik dapat diringkas bahwa pluviale dapat dikenakan untuk semua perayaan liturgi selain Misa, yang bersifat meriah, khususnya bila ada prosesi dalam perayaan itu. Contoh-contoh pengenaan pluviale, misalnya: Perayaan Perkawinan tanpa Misa, Prosesi Sakramen Mahakudus dan berbagai macam prosesi lainnya. Memang, dengan bagian depan yang dibiarkan terbuka, dan tidak dijahit seperti kasula, pluviale lebih leluasa digunakan untuk ritual-ritual dengan banyak jalan kaki.
PUMR juga menulis “... Kasula dipakai di atas alba dan stola. ...” (bdk. PUMR 337). Kasula yang adalah lambang cinta kasih memang selalu dikenakan di atas stola yang adalah lambang otoritas. Ada satu dua daerah yang pernah memperoleh ijin khusus dari Vatikan untuk bisa mengenakan alba-kasula, yaitu kasula berwarna putih yang sekaligus merangkap alba; modelnya lebih mirip alba daripada kasula. Dalam hal ini, memang stolanya lalu dikenakan di atas alba-kasula. Hal ini adalah suatu pengecualian, dengan indult dari Vatikan dan hanya berlaku di satu dua daerah yang mendapatkan ijin khusus ini. Para penjahit busana Gereja di Indonesia hendaknya tidak membuat desain kasula dan stola, yang di beberapa tempat disebut “stola luar”. Ini bukan praktik yang legitim di Indonesia.
Oh ya, di atas atau dalam berbagai kesempatan lain Anda mungkin pernah melihat gambar atau foto Paus atau kardinal atau uskup tertentu mengenakan semacam kalung atau selempang putih dengan 6 salib kecil (3 di depan dan 3 di belakang) di atas kasulanya; selempang itu namanya Pallium (lihat foto Paus Franciscus di atas, dan foto lama Paus Benedictus XVI di bawah ini). Pallium diberikan oleh Paus kepada para uskup agung metropolitan, dan dikenakan hanya pada saat beliau-beliau berada dalam wilayah yurisdiksinya. Uskup biasa atau imam tidak mengenakan selempang semacam itu. Di beberapa tempat saya melihat selempang semacam itu (dengan warna liturgi) dikenakan oleh lektor dalam Misa. Ada baiknya praktik ini tidak diteruskan.
Paus Benedictus XVI mengenakan Pallium (Foto: Corbis Images) |
Lektor dengan selempang mirip Pallium |
Tidak seperti penggunaan dalmatik oleh diakon yang sifatnya fakultatif (bdk. PUMR 338), penggunaan kasula oleh imam dalam Misa sifatnya adalah wajib. “Dalam Misale Romawi diberi izin kepada para Imam yang berkonselebrasi kecuali selebran utama (yang selalu harus memakai kasula dengan warna yang ditentukan) untuk tidak mengenakan kasula dan hanya memakai stola di atas alba. Namun hal ini berlaku jika ada alasan yang pantas untuk itu, misalnya jika jumlah konselebran teramat besar atau ada kekurangan busana. Namun dimana dapat diketahui sebelumnya bahwa busana itu dibutuhkan, maka hendaknya disediakan kasula sedapat dan sebanyak mungkin. Kalau keadaan terpaksa, para konselebran yang bukan selebran utama boleh juga memakai kasula warna putih. ...” (Redemptionis Sacramentum 124). Oleh karena itu, mari, para seremoniarius dan team liturgi, kita siapkan busana yang layak dan pantas, yang indah dan agung, bagi para uskup dan imam-imam kita, yang mempersembahkan kurban Ekaristi kita semua bagi Allah.
Baca juga: Lebih Lanjut tentang Pluviale
Catatan: Artikel ini, dengan beberapa foto di atas, dimuat dalam Majalah Liturgi yang diterbitkan oleh Komisi Liturgi KWI, Vol. 28 No. 2 - Apr-Jun 2017.
Catatan: Artikel ini, dengan beberapa foto di atas, dimuat dalam Majalah Liturgi yang diterbitkan oleh Komisi Liturgi KWI, Vol. 28 No. 2 - Apr-Jun 2017.
halo admin.. artikel yang menarik dan sangat mengedukasi.. kalau boleh tahu sebenarna ukuran standar kasula dan pluviale itu seberapa panjang sih? lalu tetang ornamen dan warna, apakah ada ketentuan khusus misalnya tentang pengunaan warna biru untuk busana imam pada pesta dan ahri raya SPM ? terimakasih sebelumnya..berkah dalem..
ReplyDeleteSaya belum pernah membaca aturan tentang panjang kasula atau pluviale, namun tradisinya untuk kasula gotik adalah sampai kira-kira setengah betis dan untuk pluviale semata kaki.
DeleteMengenai ornamen, berikut ini kutipan dari PUMR:
"Busana liturgis hendaknya tampak indah dan anggun bukan karena banyak dan mewahnya hiasan, melainkan karena bahan dan bentuk potongannya. Hiasan pada busana liturgis yang berupa gambar atau lambang, hendaknya sesuai dengan liturgi. Yang kurang sesuai hendaknya dihindarkan." (PUMR 344)
Mengenai warna biru, sejauh yang saya tahu itu ada "indult" atau ijin khusus dari Takhta Suci untuk tempat atau daerah tertentu saja, dan bukan untuk diaplikasikan secara luas.
Salam,
albert
Saya mau bertanya: Kenapa gambar atau motif kasula yang dikenakan setiap pastur itu beragam? Ada yang bergambar Yesus, Ada yang bergambar Salib, dll. Apakah ada maksud tersendiri dari gambar pada kasula tersebut?
ReplyDeleteItu tergantung yang membuat dan yang memesan. Berikut ini saya kutipkan aturan dari Pedoman Umum Misale Romawi. Selain aturan ini, tentu ada kelaziman-kelaziman dalam Gereja Katolik Ritus Romawi. Memang, cukup banyak busana liturgi yang tidak sesuai aturan maupun kelaziman.
Delete344. Busana liturgis hendaknya tampak indah dan anggun bukan karena banyak dan mewahnya hiasan, melainkan karena bahan dan bentuk potongannya. Hiasan pada busana liturgis yang berupa gambar atau lambang, hendaknya sesuai dengan liturgi. Yang kurang sesuai hendaknya dihindarkan.
Salam,
albert
Halo, saya ingin bertanya, perlukah misdinar menarik kasula imam ketika akan duduk supaya tidak terduduki oleh imam?
ReplyDeleteTergantung jenis kasulanya. Tapi di Indonesia pada umumnya tidak perlu. Paus Franciscus (dan Benedictus XVI, dan Yohanes Paulus II, dll.) juga menduduki kasulanya kok.
DeleteSalam,
albert