Lebih Lanjut Tentang Pluviale

Paus Franciscus mengenakan Pluviale
(Foto: Getty Images)


Pada kesempatan yang lalu saya menulis tentang Kasula dan Pluviale, dan membahas juga kesamaan dan perbedaannya. Kali ini saya akan membahas lebih mendalam tentang pluviale atau koorkap (Belanda: koorkap, Inggris: choir cape, Latin: pluviale/cappa/mantum), dan khususnya hal kegunaannya. Untuk pemahaman lebih menyeluruh, tentu baik bila artikel Kasula dan Pluviale itu dibaca terlebih dahulu atau dibaca ulang.

Sekedar mengingatkan, soal perbedaan kasula dan pluviale, para pakar busana Gereja, termasuk Norris, dalam bukunya Church Vestments: Their Origin and Development, 1949, mengatakan bahwa pluviale pada dasarnya adalah kasula yang tidak dijahit di bagian depannya, dibiarkan tetap terbuka, dan disatukan dengan sebuah metal yang disebut morse. Memang, dalam perkembangannya kasula lalu kehilangan bagian penutup kepala dan pluviale tetap dilengkapi dengan penutup kepala, meski bentuk dan fungsinya lalu mengalami perubahan. Penutup kepala ini akhirnya hanya menjadi hiasan semata dan tidak lagi dapat dikenakan menutupi kepala, seperti yang terlihat di bagian belakang pluviale-pluviale yang biasa kita lihat sekarang ini (lihat contoh gambar di bawah ini).


Perkembangan penutup kepala pada Pluviale


Dom E.A. Roulin, O.S.B., dalam bukunya Vestment & Vesture, 1950, tidak segan-segan mengungkapkan preferensinya pada pluviale model Prancis (gambar bawah, kanan) dibanding dengan model tradisional (gambar bawah, kiri). Pluviale model Prancis inilah yang banyak kita jumpai di Indonesia. Dalam artikel ini saya memberikan contoh-contoh foto dari kedua jenis pluviale tersebut, yang sampai saat ini masih digunakan secara luas di luar Indonesia, oleh Paus, uskup, ataupun imam dan diakon.


Pluviale model tradisional (kiri)
dan model Prancis (kanan)


Jika kasula adalah busana yang dikenakan oleh selebran dalam Misa, pluviale adalah busana yang dapat dikenakan oleh selebran dalam perayaan sakramen selain Misa. Apa saja itu? Mari kita bahas satu persatu. Sakramen Imamat atau Tahbisan Suci selalu diberikan dalam Misa. Demikian juga dengan Sakramen Penguatan di Indonesia pada umumnya. Maka (para) selebrannya pastilah mengenakan kasula. Sakramen Tobat dan Pengurapan Orang Sakit biasanya diberikan secara sederhana, oleh karena itu pengenaan pluviale tidaklah lazim. Yang tersisa lalu adalah Sakramen Baptis dan Perkawinan. Kedua sakramen ini, apabila diberikan di luar Misa, dalam sebuah upacara meriah, selebrannya dapat (dan baiknya) mengenakan pluviale. (Bdk. Ordo Baptismi Parvulorum 35, 74, 107; Ordo Matrimonium 80 dan Tata Perayaan Perkawinan 142)


Paus Franciscus mengenakan Pluviale
(Foto: Corbis Images)


Berikutnya, dengan terbukanya bagian depan pluviale jika dibandingkan dengan kasula, busana ini lalu menjadi lebih mudah digunakan untuk berjalan. Bisa jadi itu adalah salah satu sebabnya pluviale menjadi busana liturgi yang disyaratkan atau disarankan untuk dipakai dalam berbagai prosesi. Contoh yang sudah jamak ditemui di Indonesia adalah Prosesi Minggu Palma, dengan pluviale warna merah (Bdk. Rubrik Misale Romawi untuk Perayaan Minggu Palma dan Caeremoniale Episcoporum 265). Selain itu, ada juga berbagai prosesi yang mungkin belum banyak diperkenalkan secara luas di Indonesia, misalnya: Prosesi-Prosesi dalam Masa Prapaskah (Bdk. Rubrik Misale Romawi untuk Masa Prapaskah dan CE 260-261), dengan pluviale warna ungu; Prosesi Sakramen Mahakudus pada Hari Raya Tubuh dan Darah Kristus, dengan pluviale warna putih/emas (Bdk. CE 386-390). Untuk Prosesi Sakramen Mahakudus ini, secara khusus malahan diminta agar imam-imam yang tidak berkonselebrasi (dalam Misa Kudus sebelum prosesi) mengikuti prosesi ini dengan mengenakan jubah, superpli dan pluviale (Bdk. CE 390).

Dalam berbagai kesempatan, telah berulang kali saya sampaikan agar misdinar, atau diakon, atau imam konselebran tidak memegangi kasula selebran utama saat ia melakukan pendupaan. Di Vatikan hal ini tidak pernah dilakukan. Pun tidak ada aturan ataupun tradisi dalam Gereja Katolik universal yang meminta demikian. Seringkali ini tidak membantu, malahan menyulitkan sang selebran utama. Lain ceritanya dengan pluviale. Untuk pluviale, memang ada tradisi atau kebiasaan untuk memegangi kedua ujung bagian bawah pluviale saat selebran utama yang mengenakannya berjalan dalam prosesi atau saat ia melakukan pendupaan. Silakan periksa ketiga gambar di bawah ini dan cermati.


Kasula tidak perlu dipegangi saat pendupaan
(Foto: Corbis Images)


Cara tradisional memegang Pluviale
(Foto: newliturgicalmovement.org)

Cara tradisional memegang Pluviale
(Foto: Corbis Images)

Selain prosesi-prosesi, pluviale dapat digunakan juga pada berbagai upacara pemberkatan. “Imam dan diakon, bila memimpin pemberkatan dalam bentuk upacara bersama umat terutama di gereja atau secara lebih kurang meriah, hendaknya mengenakan alba dan stola. Alba dapat diganti superpli, kalau ia memakai jubah. Dalam perayaan lebih meriah dapat digunakan pluviale (koorkap).” (Ibadat Berkat 36). Lebih lanjut ditulis, bahwa “Warna pakaian liturgi hendaknya putih atau disesuaikan dengan pesta/masa liturgi yang bersangkutan.” (IB 37)

Berikutnya, pluviale juga dikenakan dalam ibadat harian yang dirayakan secara meriah atau secara lebih khidmat. Uskup yang memimpin ibadat harian meriah mengenakan amik, alba, singel, salib pektoral dengan tali penggantung warna hijau-emas, stola, dan pluviale, plus solideo, mitra dan tongkat. Para imam yang hadir dapat mengenakan pluviale di atas alba atau di atas jubah dan superpli. Para diakon, dapat mengenakan pluviale atau dalmatik. (Bdk. CE 192).


Imam mengenakan Pluviale
(Foto: James Bradley/NLM)


Sebenarnya, ada juga penggunaan pluviale dalam Misa bentuk biasa, yaitu oleh uskup yang hadir (memimpin) tetapi tidak merayakannya (sebagai selebran). Hal ini diatur secara khusus dalam Tata Upacara Para Uskup (Bdk. CE 175-186). Dalam kesempatan ini cukuplah saya sebut kemungkinan penggunaannya, tanpa membahas tentang kasus-kasusnya.

Akhirnya, pluviale dikenakan untuk memberikan berkat Sakramen Mahakudus (bersama dengan velum, untuk memegang monstrans) dan, juga dalam berbagai upacara seputar kematian. Untuk yang pertama pluviale-nya berwarna putih dan yang kedua hitam. (Bdk. Fortescue, et. al., Ceremonies of the Roman Rite Described, edisi ke-15, 2009, h. 33-34). Atau, pasca Vatikan II, bisa juga dipakai warna ungu untuk upacara seputar kematian.

Pengenaan pluviale memang dimaksudkan untuk menambah keagungan upacara liturgi yang sedang dirayakan. Dalam kasus-kasus di mana upacara-upacara tersebut di atas bersifat sederhana atau tidak terlalu meriah, klerus boleh saja mengenakan alba dan stola tanpa pluviale, atau jubah, superpli dan stola tanpa pluviale, seperti pada kedua foto di bawah ini. Dalam hal ini, busana yang ekuivalen untuk uskup adalah jubah ungu dan rochet putih, beserta segala kelengkapannya.


(Foto: Joseph Denny/TK)

(Foto: Joseph Denny/TK)


Pluviale selalu dikenakan di atas alba atau di atas jubah dan superpli. Tidak pernah pluviale dikenakan di atas busana sehari-hari saja. Bila klerus tidak mengenakan jubah, hendaknya ia mengenakan alba sebelum pluviale. Bila klerus mengenakan jubah, ia boleh memilih mengenakan alba atau superpli sebelum pluviale. Di bawah pluviale dikenakan stola sesuai martabat pemakainya.

Sebagai penutup, tidak seperti kasula yang adalah busana khusus untuk imam dalam Misa, dan dalmatik yang adalah busana khusus untuk diakon dalam berbagai perayaan liturgi yang bersifat meriah, pluviale bukan monopoli kaum tertahbis dan bukan penanda bahwa pemakainya adalah klerus. Ada banyak biarawan-biarawati dari ordo religius yang secara legitim mengenakan pluviale sebagai bagian dari busana (liturgi) mereka. Bila dikehendaki, pluviale pun dapat dikenakan sebagai busana liturgi anggota koor. Dalam foto Prosesi Corpus Christi di bawah ini, terlihat beberapa awam anggota Ordo Makam Suci yang mengenakan pluviale mereka.


Awam Anggota Ordo Makam Suci
mengenakan Pluviale (Foto: Getty Images)


Baca juga: Kasula dan Pluviale

Catatan: Artikel ini, dengan beberapa foto di atas, dimuat dalam Majalah Liturgi yang diterbitkan oleh Komisi Liturgi KWI, Vol. 28 No. 3 - Jul-Sep 2017.

2 comments:

  1. Mohon maaf, Pak Albert. Utk kebiasaan memegangi kasula saat pendupaan setahu sy bukan hal baru, bahkan di Vatican (yg mana sekarang mungkin sdh tdk pernah dilakukan). Kita dpt melihat rekaman lama saat koronasi St. Yohanes XXIII (https://youtu.be/PORD1CRZqng di menit ke 1:21), yg mana beliau mendupai sambil kasula beliau dipegangi oleh seorang diakon (padahal kasula yg beliau pakai adalah model fiddle back). Juga ada video St. Paulus VI mendupai sambil kasula beliau dipegangi (model gotik) (https://youtu.be/ClonM0w_BtI menit 3:53). Jadi menurut saya kebiasaan tsb bukanlah hal yg asing & sama sekali baru. Bahkan sebelum reformasi liturgi juga sudah ada. Hanya mungkin sekarang ditinggalkan karena agak meribetkan langkah imam, juga karna tdk disebut dlm buku2 liturgi.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima kasih atas masukan Bapak. Maaf saya baru sempat cek YouTube-nya. Bapak benar. Di situ yang dipegang sisi belakangnya ya, bukan sisi depan seperti yang umum dilakukan di Indonesia. Satu hal yang masih ingin saya cek lagi, tapi belum sempat, adalah, apakah hal ini diminta dalam rubrik (Misa Tridentina). Dari situ kita bisa menyimpulkan, apakah ini merupakan inisiatif sang (kardinal) diakon atau seremoniarius tertentu saja atau ini memang adalah permintaan rubrik. Mungkin Bapak bisa bantu temukan?

      Salam,
      albert

      Delete