Jubah Ungu Uskup dan Pemakaiannya

YM Adrianus Sunarko OFM
(Foto: Arkadius Pribadi)


Dalam waktu 13 bulan, dari September 2016 sampai dengan September 2017, Indonesia mendapatkan 5 orang uskup baru. Ini sungguh karunia yang luar biasa. Mulai dari Uskup Malang Yang Mulia Pidyarto, yang menerima tahbisan episkopalnya 3 September 2016, dan berturut-turut disusul oleh Uskup Sintang YM Samuel, Uskup Agung Semarang YM Rubi, Uskup Manado YM Rolly, dan yang terakhir, Uskup Pangkalpinang YM Sunarko, yang ditahbiskan 23 September 2017. Media sosial milik Gereja dan umat pun dipenuhi berbagai foto perayaan tahbisan uskup, di mana beliau-beliau datang mengenakan jubah warna ungu.

Saya pernah membahas jubah ungu ini—dengan berbagai kelengkapannya—dalam artikel berjudul Busana Liturgi Uskup, di Majalah Liturgi KWI, Vol 22 No 3 - Mei-Jun 2011. Dalam kesempatan ini saya akan membahas lebih dalam tentang penggunaannya. Tentu baik bila sebelumnya Anda dapat membaca ulang artikel Busana Liturgi Uskup itu. Bila majalah lama Anda susah ditemukan, artikel itu bisa dibaca di link berikut ini.

YM Robertus Rubiyatmoko
(Foto: Arkadius Pribadi)


YM Samuel Oton Sidin OFMCap
(Foto: Arkadius Pribadi)


YM Henricus Pidyarto Gunawan OCarm
(Foto: Liem Hendra Irawan)


Jubah ungu uskup mungkin belum biasa dilihat umat di Indonesia. Padahal ia bukan barang baru bagi Gereja Katolik. Sudah berabad-abad para uskup Gereja Katolik Romawi mengenakannya. Di Indonesia pun dulunya jubah ini lazim dikenakan. Sempat beberapa waktu menghilang, kini ia kembali mengemuka dan terlihat di berbagai kesempatan. Ada juga umat yang bertanya, “Kok bapa uskup pakai ‘jubah kardinal’ ya?” Mungkin banyak umat di Indonesia biasa melihat para kardinal di televisi mengenakan jubah semacam, dengan warna merah. Memang, beda tipis dengan jubah uskup yang warnanya ungu agak kemerahan. Silakan perhatikan foto di bawah ini dan lihat perbedaan warnanya.

Jubah Ungu Uskup Rolly vs Jubah Merah Kardinal Ribat
(Foto: Ega Elisabeth)


YM Antonio Guido Filipazzi
(Foto: Maria Moeljadi/Komsos Malang)


Nunsius Apostolik atau Duta Besar Vatikan di Indonesia yang sebelumnya, Uskup Agung Antonio Filipazzi (2011-2017), sering terlihat mengenakan jubah ungu ini, juga sepanjang Misa tahbisan uskup. Kenapa beliau tidak mengenakan kasula? Jawabnya, karena beliau tidak menjadi selebran dalam Misa. Lalu, kenapa beliau tidak ikut menjadi selebran dalam Misa? Dalam tata urutan pengutamaan (Inggris: order of precedence) di Gereja Katolik, seorang Nunsius Apostolik adalah Uskup Agung yang paling senior di suatu negara di mana beliau bertugas. Manakala seorang prelatus yang paling senior tidak menjadi selebran utama dalam sebuah Misa, beliau pun eloknya tidak menjadi konselebran. Alternatifnya, bisa hadir dalam Misa dengan busana liturgi jubah ungu yang disebut “habitus choralis” ini. Sesuai tata urutan pengutamaan, beliau akan berjalan di belakang selebran utama, dan baik jika didampingi oleh dua orang diakon yang berjalan sedikit di belakangnya.  

Uskup Agung Port Moresby, Papua Nugini, Yang Utama John Cardinal Ribat MSC, yang turut hadir dalam tahbisan Uskup Manado Juli 2017 yang lalu, adalah seorang kardinal--prelatus yang lebih senior dari Nunsius Filipazzi yang menjadi Penahbis Utama. Maka, Cardinal Ribat pun tidak menjadi konselebran. Beliau hadir dengan busana liturginya yang modelnya sama dengan jubah ungu uskup, tapi untuk kardinal warnanya merah. Dalam kapasitas ini, karena tidak menjadi selebran, Cardinal Ribat pun berlutut saat konsekrasi, bersama dengan para diakon, seremoniarius dan pelayan lain (Bdk. CE 182). Pada saat komuni, beliau akan mengenakan stola dan dihantar menghampiri altar untuk menyambut komuni di sana, setelah para selebran (Bdk. CE 183).

Cardinal Ribat berjalan di belakang Selebran Utama
(Foto: Maxi Paat)


Cardinal Ribat dalam ritual penumpangan tangan
(Foto: Maxi Paat)


Dalam foto di bawah ini, nampak Uskup Surabaya YM Sutikno dengan kasula hijau dan Imam Agung Basilika Santo Petrus di Vatikan, YU Cardinal Comastri, dengan busana liturgi kardinal warna merah. Foto ini diambil di Sakristi Basilika Santo Petrus usai Misa Latin di mana Uskup Surabaya menjadi konselebran kedua dan Cardinal Comastri, yang lebih senior dari semua uskup dan uskup agung yang berkonselebrasi, tidak menjadi selebran tetapi hadir dan "assist". Dalam kasus-kasus demikian, prelatus yang lebih senior selalu berjalan di belakang selebran utama. Kalau kita cermati ujung lengan kiri YM Sutikno, terlihat bahwa beliau pun mengenakan jubah ungu uskup di bawah alba putihnya.

Uskup Surabaya bersama Cardinal Comastri
(Foto: ABW)


Sampai di sini sudah banyak contoh penggunaan jubah ungu uskup (atau jubah merah kardinal) untuk acara yang dihadiri banyak uskup. Dalam kenyataannya, di acara internal keuskupan, akankah ada kasus-kasus di mana bapa uskup tidak menjadi selebran utama dalam Misa? Bisa saja. Satu contoh, bapa uskup bisa hadir dalam Misa perdana seorang imam, tanpa beliau menjadi selebran. Contoh lain, bapa uskup juga bisa hadir dalam Misa pemakaman orang tua seorang imam, tanpa beliau menjadi selebran. Dalam kedua kasus ini, ada alasan yang valid bagi bapa uskup untuk memberikan kesempatan bagi sang imam menjadi selebran utama dalam Misa. Contoh lain, apabila karena satu dan lain hal Misa harus diselenggarakan dalam bahasa (daerah) yang tidak dipahami uskup. Tentunya dalam kasus-kasus tersebut uskup tidak menjadi konselebran dari imamnya. Alternatifnya, beliau hadir dan “assist” dengan jubah ungu uskup (Bdk. CE 186).

Lebih lanjut, Caeremoniale Episcoporum menyebut, bahwa uskup mengenakan jubah ungu ini saat ia “... bepergian secara publik ke atau dari gereja, saat ia hadir dalam perayaan liturgi tetapi tidak memimpinnya, dan dalam berbagai kesempatan lain ...” (CE 1202). Secara khusus, uskup diminta mengenakan jubah ungu ini saat kunjungan pastoral (Bdk. CE 1179). Saat itu, uskup hendaknya disambut di pintu (gerbang) gereja oleh pastor paroki yang mengenakan cappa/pluviale dan membawa salib untuk diciumnya. Pastor paroki kemudian menyodorkan hisop dan bejana air suci, agar uskup dapat memberkati dirinya sendiri dan semua yang hadir menyambutnya (Bdk. CE 1180).

Uskup Surabaya di Bethlehem
(Foto: ABW)


Uskup Surabaya di Yerusalem
(Foto: Fifi Lukito)


Setelah membaca uraian di atas, mungkin akan timbul pertanyaan, “Lalu, bagaimana dengan jubah uskup yang warnanya hitam dan juga putih?” Jubah hitam (atau boleh diganti putih untuk daerah tropis) sebenarnya adalah busana formal non-liturgis. Ia dikenakan dalam berbagai acara dan penampilan uskup yang bersifat formal non-liturgis, seperti: audiensi dengan Paus, rapat-rapat Gereja di luar maupun di dalam wilayah keuskupan, pertemuan dengan pejabat pemerintah dan acara-acara kenegaraan, audiensi dengan umat dan berbagai resepsi (termasuk resepsi perkawinan umat), dan juga baik sekali dikenakan dalam pertemuan dengan para pemimpin agama lain. Perlu kah? Kenapa tidak? Anda pernah lihat biksu Buddha datang ke acara-acara di atas dan pakai batik? Penjelasan lebih lengkap mengenai jubah hitam dan putih ini bisa Anda temukan dalam artikel berjudul Busana Uskup, di Majalah Liturgi KWI, Vol 20 No 1 - Jan-Feb 2009, atau di link berikut ini.

Catatan: Artikel ini, dengan beberapa foto di atas, dimuat dalam Majalah Liturgi yang diterbitkan oleh Komisi Liturgi KWI, Vol. 29 No. 1 - Jan-Mar 2018.

No comments:

Post a Comment