Imam Merayakan Ekaristi (Foto: Drailton Gomes/Sacerdos Photo) |
Sabtu pagi itu matahari bersinar cerah. Langit biru dengan sedikit awan bergantung di sana-sini. Saya diminta untuk melayani beberapa imam dalam Misa konselebrasi untuk sebuah komunitas kecil anak-anak muda hebat, yang rencananya akan dimulai pukul 11:00. Setengah jam sebelumnya, saya tiba di tempat Misa, sebuah aula kecil. Aduh. Sang imam selebran utama sudah ada di sana. Ia duduk di kursi umat paling depan, diam dan khusyuk membaca. Merasa terlambat dan tak hendak mengganggunya, saya langsung menuju ke bagian belakang aula, tempat busana-busana liturgis telah disiapkan panitia. Di sana saya menata kasula dan stola dari panitia, plus singel, alba dan amik yang saya bawa sendiri. Sengaja saya siapkan alba, singel dan amik. Saya tahu sang selebran utama ini biasa mengenakannya di atas jubah biaranya.
Kurang seperempat jam dari pukul 11:00, sang selebran utama berdiri dan berjalan ke belakang, menuju ke arah saya. Saya menyapanya dengan takzim. Ia tersenyum kebapakan dan membalas sapaan saya dengan penuh semangat. Ia sudah tua, tapi sungguh sigap. Tak banyak basa-basi, ia menaikkan capuchon alias kerudung kecil dari belakang jubah biaranya ke atas kepalanya, lalu meletakkan amik di atasnya dan mengikat talinya di sekeliling tubuh kurusnya. Saya membantunya memakai alba dan singel, lalu menyerahkan stola, yang diciumnya perlahan penuh penghayatan. Stola itu lalu ia kalungkan, dan ikat dengan singel yang tadi masih setengah terpasang. Ia lalu menurunkan capuchon kecil yang telah rapi tertutup oleh amik. Saya pun membantu memasangkan kasula merah yang indah baginya. Bagian leher kasula ini cukup tinggi. Andai tidak begitu, mungkin capuchon-nya akan diturunkan setelah memakai kasula. Akhirnya, ia meraih topi kecil bulat warna ungu dan mitra—topi tingginya. Ia memang seorang uskup.
Misa masih beberapa menit lagi. Ada 4 imam lain yang datang bergabung, menyapa bapa uskup, dan bergegas memakai kasula mereka. Dari wajah dan logatnya, nampaknya mereka datang dari berbagai penjuru negeri ini. Pasca doa bersama persiapan Misa, sang imam agung berdiri diam. Tangannya terkatup rapi di depan dadanya. Matanya menerawang, sesekali memejam. Sepertinya ia masih terus berdoa. Suasana pun hening. Empat imam yang lain pun hanya sesekali berbisik segan. Mereka berbaris dengan rapi, di depan sang imam agung yang diam bergeming. Suasana yang agak tidak biasa bagi saya. Tapi sungguh, saya menikmatinya. Mungkin lebih dari saya menikmati suasana riuh penuh keakraban di sakristi, yang biasa terjadi sebelum Misa dengan banyak selebran.
Doa Bersama Sebelum Misa (Foto: Victor Hutomo Desetyadi) |
Bicara kekhusyukan, saya ingat seorang imam lain, yang sungguh mengesankan. Ia pembicara publik yang baik. Orator yang hebat. Di luar Misa, ia biasa bicara penuh semangat dan menarik hati para pendengarnya. Tepuk tangan yang hadir kerap membahana menyambut kata-katanya. Tapi saat Misa, ia seperti menjadi pribadi yang lain. Ia bicara dengan tenang, pelan dan bahkan hampir berbisik. Homilinya pendek, dengan bahasa yang sederhana dan tidak meledak-ledak. Baginya, pusat Misa adalah Kristus dan bukan dirinya, yang adalah pelayan-Nya. Hal ini telah beberapa kali diajarkannya. Ya, ia adalah guru kita semua, wakil Kristus di dunia.
Paus Franciscus di Luar Misa (Foto: Paul Haring/CNS Photo) |
Paus Franciscus di Luar Misa (Foto: Paul Haring/CNS Photo) |
Paus Franciscus dalam Misa (Foto: Tony Gentile-Reuters/CNS Photo) |
Paus Franciscus Mendupai Salib Altar (Foto: Paul Haring/CNS Photo) |
Hanya uskup dan Paus kah yang mengesankan saya? Tidak juga. Banyak sekali imam-imam biasa yang mempersembahkan Misa dengan luar biasa. Di bawah ini adalah kisah nyata pengalaman saya dengan beberapa imam-imam biasa. Ada di antaranya yang bahkan belum 3 tahun jadi imam saat itu.
Kita bersyukur, di jaman internet ini banyak sekali dokumen dan berbagai materi tentang liturgi yang baik tersedia dan bisa dipelajari dari internet. Tidak sedikit imam-imam yang mencari dan mempelajarinya. Seorang imam muda yang sederhana dan saleh pernah mengejutkan saya di sakristi saat ia bertamu. Ia menanyakan amik. Untungnya ada tersedia. Imam muda ini mengenakan busana liturginya dengan cermat. Dengan mengenakan amik, ia memastikan bahwa busana sehari-harinya yang tidak pantas tertutup rapi dengan busana suci, dan siap untuk perjumpaan dengan Sang Tuan.
Satu lagi yang saya kagumi dari imam sederhana ini. Setelah doa pembuka selesai, banyak imam biasa berkata, “Marilah kita mendengarkan Sabda Tuhan.” Tetapi, setelah itu mereka sendiri kadang tidak tampak ikut mendengarkan. Ada yang membaca teks atau buku Misa atau lainnya. Imam yang saya ceritakan ini beda. Ia bahkan sengaja memiringkan duduknya dan memandang sang lektor. Mendengarkannya! Demonstratif? Mungkin saja. Tapi dengan demikian ia memberikan contoh yang baik kepada umat. Saya perhatikan, umat pun banyak yang lalu mengikuti sikap sang imam ini. Di jaman ini, partisipasi aktif yang paling sulit sepertinya bukan menjawab aklamasi atau menyanyi, tapi mendengarkan.
Ada seorang imam senior yang mengesankan saya juga. Bukan hanya karena ia selalu mengenakan habit alias jubah biarawannya ke mana-mana, tapi karena Misa yang ia persembahkan sungguh baik. Secara khusus, saya ingin bercerita tentang homilinya. Imam ini rupanya banyak sekali membaca dan sungguh-sungguh mempersiapkan homilinya. Ia menjelaskan bacaan-bacaan dengan baik. Sama sekali tidak klise. Dan, ia pun mengaitkan antara bacaan pertama dan kedua dengan Injil. Ia benar-benar seperti Kristus yang menjelaskan nas-nas Kitab Suci kepada dua orang murid-Nya dalam perjalanan ke Emaus. Homilinya singkat dan tidak bertele-tele. Saya rasakan bahwa pusat perhatian tidak lalu berpindah ke ia yang menyampaikan homili, tetapi tetap pada Kristus, yang dihadirkan kembali dalam Sabda. Kita tahu ini tidak mudah, dan butuh pertolongan Roh Kudus untuk bisa begini.
Yang berikut ini tentang imam yang lain lagi. Sebelumnya, kalau kita perhatikan dengan teliti, ada imam yang sekedar membaca teks doa-doa dalam Misa. Tapi ada juga imam yang benar-benar memanjatkan doa kepada Allah. Bedanya tipis memang, tapi bisa terlihat dari bangku umat atau bangku misdinar. Imam yang saya ceritakan ini, saat itu belum 3 tahun tahbisan. Tapi sudah lama ia hafal Doa Syukur Agung, dan bukan cuma Doa Syukur Agung II yang pendek. Setelah Prefasi dan Kudus, sang imam ini hampir tak melihat Buku Tata Perayaan Ekaristi di altar. Matanya menerawang jauh. Banyak kali ia mengarahkan pandangan penuh keharuan ke atas. Ia memanjatkan doa kepada Allah, atas nama saya dan atas nama seluruh umat yang hadir. Ia mengantar persembahannya, persembahan saya, dan persembahan seluruh umat kepada Allah. Semoga Allah berkenan menerima persembahan itu, seperti dahulu Ia berkenan menerima persembahan Habel.
Imam Memanjatkan Doa (Foto: Drailton Gomes/Sacerdos Photo) |
Sebenarnya, masih banyak lagi cerita tentang imam-imam yang baik. Imam-imam yang oleh tahbisannya, untuk dan atas nama dirinya dan seluruh umat, mempersembahkan Anak Domba kurban kita semua kepada Bapa. Semoga mereka dapat menjadi inspirasi bagi kita semuanya. Doakan mereka selalu!
Catatan: Artikel ini, dengan beberapa foto di atas, dimuat dalam Majalah Liturgi yang diterbitkan oleh Komisi Liturgi KWI, Vol. 29 No. 3 - Jul-Sep 2018.
Luar Biasa Pak.. Semoga semakin banyak Imam yang mengesankan dalam berliturgi
ReplyDelete