Pallium: Kalung Uskup Agung Metropolitan

Nunsius Menunjukkan Pallium
(Foto: Romo Dadang Hermawan)


Sabtu, 16 Desember 2017 yang lalu, Nunsius Apostolik atau Duta Besar Takhta Suci untuk Indonesia, Yang Mulia Uskup Agung Piero Pioppo, dalam sebuah Misa khusus di Katedral Semarang, mengenakan pallium di pundak Uskup Agung Metropolitan Semarang yang baru, YM Robertus Rubiyatmoko. Apa itu pallium? Apa fungsi dan maknanya? Silakan ikuti tulisan yang berikut ini.

Sebelum membahas pallium, ada baiknya kita bahas dulu apa itu metropolitan, pejabat Gereja yang berhak mengenakan pallium. Kanon 435-438 dari Kitab Hukum Kanonik membahas tentang metropolitan ini. Sederhananya, metropolitan adalah uskup agung yang memimpin suatu keuskupan agung metropolitan, yaitu keuskupan agung yang bersama satu atau lebih keuskupan sufragan lain membentuk suatu provinsi gerejawi. Di Indonesia saat ini ada 10 keuskupan agung metropolitan; berturut-turut dari Barat sampai ke Timur: Keuskupan Agung Medan, Palembang, Jakarta, Semarang, Pontianak, Samarinda, Makassar, Ende, Kupang, dan Merauke. Mari kita ambil Keuskupan Agung Semarang (KAS) sebagai contohnya. Dalam wilayah Provinsi Gerejawi KAS ada keuskupan-keuskupan Purwokerto, Surabaya, dan Malang, yang masing-masing mempunya uskupnya sendiri yang independen, dan bukan merupakan “bawahan” Uskup Agung Semarang. Ada beberapa privilese yang dimiliki uskup agung metropolitan, termasuk di antaranya menahbiskan uskup sufragan baru dalam wilayah provinsi gerejawinya, bila dikehendaki demikian.

Lebih lanjut, adakah keuskupan agung yang bukan metropolitan? Ada. Tetangga kita Singapura, misalnya, adalah keuskupan agung tetapi bukan metropolitan. Maka, Uskup Agung Singapura tidak mengenakan Pallium. Berikutnya, adakah uskup agung yang tidak memimpin sebuah keuskupan agung? Ada. Banyak, bahkan. Di Kuria Romawi, misalnya, ada banyak uskup agung yang memimpin berbagai institusi kepausan yang bukan keuskupan agung. Nunsius Piero Pioppo, misalnya. Beliau menerima tahbisan uskup dan memiliki martabat uskup agung. Dalam tata urutan pengutamaan, nunsius adalah uskup agung paling senior di negara di mana beliau ditugaskan. Tetapi, karena beliau tidak memimpin sebuah keuskupan agung metropolitan, maka beliau pun tidak mengenakan pallium.

Uskup Agung Rubi Kenakan Pallium
(Foto: Romo Dadang Hermawan)


Selanjutnya, mari kita kembali ke pallium. Seperti terlihat dalam foto pertama saat ditunjukkan oleh Nunsius dan dalam foto di atas saat dikenakan oleh Uskup Rubi, pallium adalah asesoris busana berbentuk melingkar, yang dikenakan layaknya sebuah kalung atau selempang, dengan lebar sekitar 6 cm dan dilengkapi dengan dua bagian yang menjulur ke bawah, di bagian depan dan di bagian belakang, yang berukuran lebar 6 cm juga, dengan panjang sekitar 30 cm. Pallium terbuat dari bulu domba berwarna putih dan dihiasi dengan bordiran 6 buah salib berwarna hitam, atau merah. Bagian paling ujung yang menjulur ke bawah, sekitar 13 cm panjangnya, terbuat dari sutera berwarna hitam (atau merah) yang di dalamnya ada metal kecil yang berfungsi sebagai pemberat. Pada tiap-tiap bordiran salib ada extra benang yang bisa digunakan untuk menempatkan sebuah pin, yang tadinya berfungsi untuk melekatkan pallium pada kasula agar tidak berubah-ubah posisinya. Biasanya digunakan 3 buah pin, sekaligus untuk mengingatkan pada ketiga paku yang digunakan di Salib Kristus. Bagian kepala pin ini biasanya dihiasi dengan batu berharga (Lihat 3 gambar di bawah).

Benang untuk Kait Pin Pallium
(Foto: Dieter Philippi)


Pin Pallium
(Foto: Dieter Philippi)


Paus Franciscus Kenakan Pin Pallium
(Foto: Filippo Monteforte/AFP/Getty Images)


Di foto di atas, terlihat dua buah pin pallium yang dikenakan Paus; satu di pundak kiri dan satu di dada. Lalu, bagaimana dengan pin yang ketiga? Pin ketiga ada di salib di bagian punggung Paus. Kalau di masa silam pin ini benar-benar berfungsi untuk melekatkan pallium pada kasula, saat ini pemakaian pin hanya tinggal fungsi simbolisnya saja, untuk mengingatkan pada ketiga paku yang digunakan di Salib Kristus.

Bicara mengenai simbol, kalau pin adalah simbol paku di Salib Kristus, St. Isidorus dari Pelusium menulis bahwa pallium adalah simbol domba yang hilang yang dipanggul oleh sang gembala yang baik (Bdk. Norris, Herbert, the Church Vestments: Their Origin and Development, p. 25; lihat foto di bawah). Itu sebabnya pallium yang dianugerahkan Paus kepada para metropolitan dibuat dari bulu domba asli dan dikenakan dengan dikalungkan atau dipanggul atau tepatnya disampirkan di pundak.

Gembala yang Baik
(Ilustrasi: Herbert Norris)


Gambar-gambar yang berikut ini menunjukkan evolusi pallium dari bentuk awalnya yang adalah mantol bernama himation dari masa peradaban agung Yunani, sampai ke penggunaannya oleh filsuf dan cendekiawan Romawi, dan pemakaiannya di atas paenula yang merupakan cikal bakal kasula modern.

Himation: Cikal Bakal Pallium
(Ilustrasi: Herbert Norris)


Pallium Filsuf dan Cendekiawan Romawi
(Ilustrasi: Herbert Norris)


Pallium di atas Paenula, Cikal Bakal Kasula
(Ilustrasi: Herbert Norris)


Evolusi Pallium
(Ilustrasi: Wikipedia)


Pallium yang dianugerahkan Paus kepada para metropolitan sungguh adalah barang yang istimewa. Ia dibuat dengan proses panjang yang sudah menjadi tradisi selama ratusan tahun. Setiap tahun, pada Pesta St. Agnes (21 Januari) Paus memberkati dua ekor domba dari Biara St. Agnes di luar tembok kota Roma. Para biarawati akan memelihara domba-domba ini sampai tiba waktunya mencukur bulu mereka pada Pekan Suci. Selanjutnya, para biarawati dari pertapaan Benediktin St. Cecilia di Trastevere, Roma, akan menenun bulu domba ini menjadi pallium. Pada Hari Raya Santo Petrus dan Paulus (29 Juni), sejumlah pallium akan diberkati Paus dan dianugerahkan kepada para uskup agung metropolitan yang baru ditunjuk dalam kurun waktu setahun terakhir, dalam suatu ritual khusus dalam Misa di Basilika Santo Petrus di Vatikan. Selama satu malam, sebelum penganugerahan esoknya, pallium-pallium ini ditempatkan dalam satu wadah perak dan diletakkan di Makam Santo Petrus. Dengan demikian, pallium-pallium ini menjadi relikui kelas dua.

Paus Benedictus XVI Kenakan Pallium Model Lama
(Foto: Wikipedia)


Paus St. Yohanes Paulus II dan Paus Benedictus XVI serta Paus Franciscus sampai dengan tahun 2014 biasa menganugerahkan pallium dengan mengalungkannya langsung kepada para metropolitan baru yang diundang ke Roma. Sejak 2015, Paus Franciscus mengubah kebiasaan ini. Para metropolitan baru tetap menerima pallium dari tangan Paus di Vatikan, tetapi pengalungannya dilaksanakan oleh nunsius apostolik di gereja katedral masing-masing metropolitan, di hadapan umat sang metropolitan.

Berikut ini adalah kata-kata yang diucapkan saat pengalungan pallium (CE 1154):

“Untuk kemuliaan Allah yang maha kuasa dan pujian dari Santa Perawan Maria dan Para Rasul Petrus dan Paulus, atas nama Paus N., Uskup Roma, dan Gereja Romawi yang Kudus, untuk kehormatan Gereja N., yang telah ditempatkan dalam penggembalaan anda, dan sebagai simbol otoritas anda sebagai uskup agung metropolitan: kami memberikan kepada anda pallium, yang diambil dari makam Petrus untuk dipakai dalam wilayah provinsi gerejawi anda.

Semoga pallium ini menjadi simbol persatuan dan penanda persekutuan anda dengan Takhta Suci, dan ikatan cinta, dan dorongan untuk keberanian. Pada hari kedatangan dan manifestasi dari Allah kita yang agung dan gembala utama, Yesus Kristus, semoga anda dan kawanan domba yang dipercayakan kepada anda dianugerahi kehidupan abadi dan kemuliaan. Dalam nama Bapa, dan Putra, dan Roh Kudus. Amin.”

Pallium dikenakan selama sang uskup agung menjabat metropolitan. Bila sang uskup agung dipindahkan ke takhta metropolitan lain, ia pun harus memohon pallium baru dari Paus (Bdk. Kanon 437 §3). Metropolitan emeritus tidak mengenakan pallium lagi, sampai ia wafat. Saat itu, pallium terakhir yang diperolehnya hendaknya dipakaikan di atas kasula ungunya. Pallium lain dari takhta metropolitan yang pernah didudukinya, bila ada, hendaknya dimasukkan ke dalam peti jenazah dan dimakamkan bersamanya, kecuali sang uskup agung telah menentukan lain sebelum wafatnya (Bdk. CE 1160).

Catatan: Artikel ini, dengan beberapa foto di atas, dimuat dalam Majalah Liturgi yang diterbitkan oleh Komisi Liturgi KWI, Vol. 29 No. 2 - Apr-Jun 2018.

No comments:

Post a Comment