Kardinal Suharyo menerima biretta dari Paus
(Foto: Vatican Media)
|
Minggu, 1 September 2019, sore hari waktu Indonesia Barat, klerus dan umat Katolik di Indonesia dikejutkan sebuah kabar suka cita. Dalam Doa Angelus yang dipimpinnya dari Lapangan Santo Petrus pukul 12:00 siang waktu setempat, Paus Franciscus mengumumkan pengangkatan 13 orang kardinal baru; salah satunya YU Ignatius Suharyo Hardjoatmodjo, Uskup Agung Jakarta dan Ketua KWI. Berbagai berita dan artikel sehubungan hal ini telah ditulis dan dimuat di berbagai media cetak dan elektronik. Catatan perjalanan di bawah ini saya sajikan dari kacamata saya, seorang Magister Caeremoniarum alias Seremoniarius yang melayani Bapa Kardinal dan para romo yang menyertai beliau ke Roma untuk menerima anugerah ini dari Paus Franciscus. Semoga tulisan ini dapat membawa Anda turut berziarah batin bersama Bapa Kardinal. Selain itu, semoga tulisan ini bermanfaat bagi para peraya liturgi, termasuk juga umat awam, untuk memahami dengan benar fungsi Seremoniarius dalam perayaan-perayaan liturgi.
Magister Caeremoniarum? Seremoniarius? Apa itu? Magister Caeremoniarum atau MC (Liturgi) atau Seremoniarius adalah Pemandu Upacara Liturgi yang melayani uskup dan imam dalam acara-acara liturgi. Pekerjaan MC Liturgi ini mirip dengan EO alias Event Organizer, hanya yang ini khusus mengurusi even-even liturgi. Lebih jauh tentang MC Liturgi dapat dibaca dalam artikel lama saya di link ini. Dalam tradisi Gereja Katolik, seorang uskup biasa memiliki MC Liturgi. Buku Caeremoniale Episcoporum atau Tata Upacara Para Uskup menyebutkan bahwa MC bertugas menyiapkan dan mengatur segala sesuatunya agar upacara liturgi yang dipimpin dan/atau dihadiri oleh uskup dapat berjalan dengan benar sesuai aturan-aturan liturgi, khidmat dan agung serta indah. Saya sendiri, Albert Wibisono, adalah MC Liturgi independen. Sejak 2007, saya melayani berbagai upacara liturgi yang dipimpin imam-imam dan uskup-uskup, termasuk Nunsius Apostolik atau Dubes Vatikan di Indonesia. Saya juga pernah melayani uskup saya sendiri, Uskup Surabaya Mgr. Sutikno, dalam berbagai ziarah beliau ke Roma, Tanah Suci, Lourdes, dan lain-lain. Dua kisahnya bisa dibaca di link ini dan ini.
Melayani Bapa Suharyo sebagai MC Liturgi:
Dedikasi Gereja St. Clara Bekasi, 11 Agustus 2019
Kiri: Romo Raymond Sianipar OFMCap,
Kepala Paroki St. Clara Bekasi
(Foto: Komsos St. Clara)
|
Mengenai kardinal, sudah cukup banyak tulisan tentang apa dan siapa kardinal itu. Di tahun 2009 saya pernah menulis artikel Kardinal: Pangeran Gereja Katolik, yang kemudian saya perbarui di tahun 2013. Baik juga kalau dibaca sebagai tambahan pengetahuan. Rupanya masih banyak yang salah persepsi tentang kardinal. Maka, saya bahas sedikit saja di sini. Meski lebih senior, kardinal bukanlah atasan uskup. Kardinal Suharyo juga tidak tepat kalau disebut Kardinal Indonesia. Beliau adalah seorang kardinal dari Indonesia, tapi beliau bukan kardinalnya Indonesia, karena negara tidak harus “punya kardinal” dan ada negara yang “punya kardinal” lebih dari satu. Kardinal Suharyo bukanlah atasan uskup-uskup yang ada di Indonesia, dan beliau juga bukan wakil atau perpanjangan tangan Paus untuk mengurus uskup-uskup di Indonesia. Lalu? Ya tetap saja beliau adalah Uskup Agung Jakarta, gembala utama umat Katolik Keuskupan Agung Jakarta. Saat tulisan ini dibuat, Kardinal Suharyo juga adalah Ketua KWI—Konferensi Waligereja Indonesia. Ketua Konferensi Waligereja tidak selalu adalah uskup yang paling senior, dan ia juga bukan atasan para uskup yang masing-masing memiliki kuasa penuh atas wilayah mereka. Di Amerika Serikat yang hari ini ada 493 uskup dan 15 di antaranya punya martabat kardinal, Ketua Konferensi Waligerejanya bukan seorang kardinal. Saya harus berhenti sampai di sini dulu. Silakan baca artikel di atas untuk jelasnya.
Sama dengan kebanyakan orang, saya juga mendengar kabar mengenai pengangkatan kardinal baru ini lewat WA dari teman. Segera saya menghubungi Nunsius atau Duta Besar Vatikan dan menanyakan, apakah Vatikan akan memberikan jubah-jubah dan berbagai asesoris bagi Bapa Kardinal. Beberapa tahun terakhir ini, atas permintaan Nunsius, Kongregasi Evangelisasi Bangsa-Bangsa atau lebih dikenal dengan nama Propaganda Fide memang memberikan jubah-jubah dan asesoris kepada para uskup dan uskup agung yang baru ditunjuk di Indonesia. Setelah berkonsultasi dengan Vatikan, Nunsius mengabarkan kepada saya: positif, dan saya diminta segera datang ke Jakarta untuk mengukur Bapa Kardinal. Waktunya sangat mepet, karena consistorium atau upacara pelantikan kardinal akan diselenggarakan di Vatikan tanggal 5 Oktober 2010. Hanya sebulan lebih beberapa hari. Saya sendiri tidak bisa menjahit, tapi saya sudah belajar mengambil ukuran jubah sesuai kebiasaan penjahit-penjahit busana Gereja di Roma. Bapa Suharyo adalah uskup ke-10 yang saya layani.
Sungguh suatu kebetulan yang luar biasa, atau mungkin memang Allah lah yang telah mengaturnya, bahwa esok harinya 2 September 2019 saya memang terjadwal terbang ke Jakarta untuk memberikan seminar di Paroki Laurensius Alam Sutera dan Paroki Kristus Raja Pejompongan. Mendarat di Halim 15:20, saya langsung naik taksi menuju ke Wisma Uskup di kompleks Katedral Jakarta. Bapa Kardinal menerima saya di ruang tamu. Sore itu, belum genap 24 jam sejak pengumuman pengangkatannya, saya bertemu Bapa Suharyo, yang masih terkejut menerima kehormatan ini dari Paus. Tidak seperti pengangkatan uskup, orang yang diangkat sebagai kardinal tidak pernah diminta kesediaannya oleh Paus. Tiba-tiba saja diumumkan pengangkatannya secara publik, tanpa yang bersangkutan diberitahu sebelumnya secara pribadi. Dari pengalaman sebelumnya, di Indonesia—dengan jumlah umat Katolik yang tidak seberapa banyak dibanding negara-negara lain—belum pernah ada lebih dari 1 kardinal pada saat yang sama. Bapa Julius Darmaatmadja baru diangkat sebagai kardinal setelah Justinus Kardinal Darmojuwono tutup usia.
Dengan Bapa Suharyo, saya berbincang sejam lebih sedikit. Kepada beliau, saya sampaikan berbagai detil hal pengangkatan kardinal dan berbagai upacaranya, dan juga hal busana dan lambang kardinal. Kepada beliau, saya juga sampaikan berbagai informasi, termasuk contoh teks upacara pelantikan kardinal dan link video Misa konselebrasi dengan Paus—dari tahun sebelumnya. Apa beliau tidak tahu semuanya itu? Saat itu belum. Perlu diingat, beliau adalah seorang imam agung, dengan tugas utama menggembalakan umat. Sama seperti pemimpin negara, raja atau presiden, beliau juga tidak perlu tahu atau hafal semua urutan protokoler maupun detil busana yang dikenakan untuk masing-masing acara. Di situlah gunanya bagian protokol kenegaraan, atau, dalam lingkup Gereja Katolik namanya MC Liturgi. Lalu, dari mana saya tahu semua itu? Belajar dari berbagai buku dan internet. Hampir semuanya ada di internet kok, termasuk juga rekaman video consistorium untuk pelantikan kardinal tahun-tahun sebelumnya yang bisa dilihat di YouTube Vatikan untuk dipelajari. Sebagai MC Liturgi, itu termasuk yang saya pelajari. Untuk apa saya yang umat awam ini mempelajari itu semua? Tidak tahu juga. Mungkin karena saya telanjur cinta pada liturgi Gereja Katolik yang indah dan sarat makna.
Usai mengambil ukuran badan dan kepala Bapa Kardinal untuk pembuatan jubah-jubah dan penyediaan topi-topinya, saya pamit untuk kemudian menuju Nunciatura alias Kedutaan Besar Vatikan di Jalan Medan Merdeka Timur. Bapa Suharyo agak bingung waktu saya hendak memanggil taksi. Beliau seperti mau mengusahakan kendaraan bagi saya, namun segera saya yakinkan bahwa saya biasa bepergian dengan taksi di Jakarta. Ini sebuah detil kecil yang saya ingat; sebuah perhatian yang tulus dari beliau.
Di Nunciatura, Nunsius alias Duta Besar Vatikan YM Uskup Agung Piero Pioppo sudah menanti ukuran yang saya ambil untuk segera beliau sampaikan ke Vatikan. Maka, tidak lama setelah membahas berbagai hal dengan beliau, saya pun pamit. Tugas berikut yang tidak kalah pentingnya yaitu memastikan busana-busana dan berbagai asesorisnya itu selesai dan tersedia untuk digunakan di Vatikan pada waktunya; cuma sebulan lagi.
Saat bertatap muka dengan Bapa Suharyo sore itu, saya sampaikan juga, bila beliau memang membutuhkan saya bisa mendampingi beliau di Vatikan nanti. Setelah mempertimbangkan, lusanya beliau menjawab lewat email, dengan senang hati menerima tawaran saya. Tradisi busana Gereja Katolik kita ini memang cukup rumit, meski sudah banyak disederhanakan pasca Konsili Vatikan II. MC Liturgi Kepausan mengirim email yang sangat detil mengenai upacara-upacara yang harus beliau hadiri dan busana-busana serta asesoris yang harus beliau kenakan. Hal ini mungkin sudah biasa di Roma maupun di tempat-tempat lain di Eropa dan Amerika, namun masih merupakan hal yang baru bagi Gereja Katolik di Indonesia.
Diputuskan bahwa Kuria Keuskupan Agung Jakarta (KAJ) akan menyertai Bapa Suharyo ke Vatikan. Vikjen Romo Samuel Pangestu yang terjadwal berziarah ke Eropa akan langsung menuju ke Roma, menemui rombongan yang berangkat dari Jakarta, yaitu Vikjud Romo Purbo Tamtomo, Vikep Romo Edi Mulyono SJ, Sekretaris Romo Adi Prasojo, Ekonom Romo Steve Winarto dan Romo Ary Dianto, plus Kepala Paroki Katedral Romo Hani Rudi Hartoko SJ, Romo Tommy Octora—imam diosesan KAJ yang sedang studi doktoral di Roma—dan saya. Dari tempat tinggal saya di Surabaya, saya berkoordinasi dengan Romo Tommy. Jadwal kegiatan selama perjalanan ziarah di Roma dan Asisi diatur Romo Tommy, sementara saya menyiapkan segala urusan liturginya, termasuk teks dan busana-busana.
Rombongan dari Indonesia berangkat dari Jakarta hari Rabu 2 Oktober 2019 dan tiba di Roma Kamis 3 Oktober 2019 pagi. Oh ya, selain selain Bapa Kardinal, para romo dan saya, dalam rombongan inti ada pula Sr. Christina Sri Murni FMM dan Sr. Margareta Maria Sri Marganingsih PMY—beliau berdua adik kandung Bapa Kardinal, dan Ibu Sri Martati Sudarto—kakak ipar Bapa Kardinal, plus Pak Rommy Winarno dari travel yang mengurus perjalanan kami ini. Disamping itu, ada juga Keluarga Pak Bernard Gunawan, Keluarga Pak Witdarmono, Bu Lina Rawung, dan beberapa umat lain dari Indonesia yang akan ikut hadir dalam kesempatan ini.
Penerbangan dengan Qatar Airways di sektor Jakarta-Doha berjalan mulus, tetapi tidak di sektor Doha-Roma. Beberapa waktu sebelum mendarat di Roma, pesawat kami mengalami turbulensi berat. Dalam kondisi pesawat sedang terbang biasa dan bahkan lampu tanda kenakan sabuk pengaman tidak menyala, pesawat tiba-tiba seperti jatuh vertikal selama beberapa detik. Banyak penumpang yang tidak mengenakan sabuk pengaman “terbang” melayang 10-20 cm dari kursi dan bahkan banyak yang kepalanya terbentur lampu dan keluaran AC di atas. Sekitar 5 meter di sebelah kiri depan saya, lampu di atas kepala penumpang bahkan melesak masuk ke atas. Tidak bisa saya bayangkan bagaimana kondisi kepala sang penumpang yang membenturnya. Suasana panik dan histeris memenuhi kabin pesawat. Penumpang di depan saya, seorang wanita Italia, berteriak-teriak histeris, “Gesu, Gesu, ….” Ia menyebut nama Yesus berulang kali. Banyak tangisan dan ratapan, banyak doa dipanjatkan. Segera perintah memasang sabuk pengaman disampaikan. Beberapa saat kemudian, untuk kedua kalinya pesawat seperti jatuh vertikal lagi, kali ini lebih singkat dari yang pertama. Sungguh sebuah pengalaman tak terlupakan. Setelah mendarat dengan selamat di Roma, pesawat sempat dikarantina dan penumpang belum diijinkan langsung turun. Seorang pramugari dibimbing turun dari bagian belakang pesawat; ia memegangi kepalanya yang berdarah-darah. Seorang penumpang lain yang masih trauma dan histeris dibimbing turun oleh petugas kesehatan lain. Mungkin ada selusin lebih penumpang yang turun bersama petugas kesehatan. Akhirnya, sisa penumpang yang sehat, termasuk seluruh rombongan kami, boleh turun dari pesawat. Duta Besar RI untuk Takhta Suci, Yang Mulia Agus Sriyono dan Ibu menyambut rombongan di darat dengan lega. Kami semua diantar ke penginapan.
Dari sejak tiba sampai selesai acara-acara di Vatikan, Bapa Kardinal mendapat kamar di Casa Santa Marta di dalam batas tembok Vatikan. Di tempat ini pula tinggal Paus Franciscus. Casa Santa Marta adalah penginapan yang digunakan para kardinal saat konklaf—pertemuan para kardinal untuk memilih Paus. Di waktu-waktu lain, penginapan ini boleh digunakan para kardinal, uskup agung dan uskup, serta tamu-tamu penting lain yang berhubungan dengan berbagai organ Takhta Suci Vatikan.
Di Casa Santa Marta Bapa Suharyo mendapat kamar di lantai kedua. Masuk ke dalam kamar beliau, kita akan berada di ruang kerja. Di ruang ini ada sebuah meja kerja dengan sebuah kursi hadap untuk tamu. Ada juga sebuah sofa singel berwarna hijau di dekat lemari pakaian yang cukup besar, yang pintunya rata dengan dinding. Di sisi seberang sofa, ada sebuah bufet tinggi dengan 2 botol besar air mineral dan sebuah gelas di atasnya. Ruang tidur kardinal dipisahkan dari ruang kerjanya dengan pintu geser dua daun. Dalam ruang tidur ini ada sebuah ranjang singel dan sebuah bufet rendah. Ruang tidur ini tidak besar tapi terlihat nyaman dan di sampingnya ada kamar mandi yang bersih pula.
Casa Santa Marta dilihat dari arah Basilika Santo Petrus (Foto: Bloomberg/Getty Images) |
Pintu Masuk Casa Santa Marta dijaga Pengawal Swiss (Foto: Johannes Eisele/Getty Images) |
Anggota rombongan lain, termasuk saya, tinggal di penginapan yang dikelola para suster Piccolo Ancelle de Christo Re di Via Aurelia 325—beberapa perhentian bus dari Vatikan, atau sekitar 30 menit jalan kaki. Beberapa kali saya berjalan kaki ke arah Vatikan, karena terlalu lama menunggu bus yang tak kunjung lewat. Penginapan kami ini cukup strategis secara lokasi karena tidak terlalu jauh dari Vatikan. Kamar saya tidak besar namun nyaman dan pas untuk saya. Ada sebuah ranjang singel, satu meja kerja kecil, dan satu lemari pakaian. Kamar mandinya pun bersih, dengan air panas yang mengalir lancar. Seluruhnya ada 3 bangunan yang dimiliki suster-suster ini; di masing-masing bangunan mungkin ada 30-an kamar. Seorang suster senior—mungkin sekitar 80 tahunan umurnya—menjaga di meja resepsionis di lantai dasar bangunan tempat kami tinggal. Suster yang ramah ini sering mengajak saya bicara dalam Bahasa Italia. Untungnya ada Google Translate Conversation yang bisa saya gunakan. Di bangunan induk, ada sebuah kapel kecil dan di lantai bawahnya ada ruang makan. Di sini tempat kami makan pagi tiap hari, dan 1-2 kali makan siang atau malam.
Beberapa jam berada di Roma Kamis pagi itu, saya langsung mulai bekerja. Sehabis mandi saya menuju penginapan Bapa Kardinal dan membantu beliau mengepas jubah dan berbagai asesorisnya yang sudah diantar ke kamar beliau oleh pembuatnya. Semuanya beres; hanya jubah yang perlu dipendekkan sedikit: 2 cm saja. Saya segera membawanya ke Euroclero—pembuatnya—di seberang Lapangan Santo Petrus. Mereka janji menyelesaikan permak ini Sabtu pagi; ada cukup waktu sebelum dikenakan di consistorium sorenya. Dari Euroclero, saya menuju ke arah Pantheon dan mampir ke Gammarelli, penjahit busana Gereja yang sudah 6 generasi melayani para Paus. Di sana saya memeriksa pesanan lain, jubah kardinal warna putih untuk beliau kenakan nanti di Indonesia—sumbangan dari donatur. Saya juga membeli tambahan sabuk sutera kardinal yang berwarna merah dan topi kecil bulat serta topi segi empatnya—sumbangan dari donatur-donatur lain yang minta tolong saya membelikan. Kamis malam itu saya akhiri dengan mencetak doa-doa dan bacaan-bacaan untuk Misa esok paginya.
Hari Jumat, 4 Oktober 2019, adalah hari kedua kami di Roma. Hari ini diawali dengan Misa di dalam Basilika Santo Petrus. Kontak saya di Kantor Perayaan Liturgi di Vikariat Vatikan memberi kami ijin untuk Misa di sebuah altar penting di dalam bangunan utama basilika; Altar Paus St. Yohanes XXIII. Di bawah altar ini terdapat tubuh utuh beliau yang ditempatkan dalam peti kaca. Dalam Misa ini, Bapa Suharyo didampingi dua konselebran, Romo Silwester Pajak SVD dan Romo Tommy Octora. Romo Silwester asalnya dari Polandia, tapi dulu lama bertugas di Indonesia; bahasa Indonesianya sempurna. Saat ini beliau bertugas di Generalat SVD di Roma.
Sakristi Utama Basilika Santo Petrus di Vatikan
(Foto: Berthold Werner/Wikipedia)
|
Di Sakristi Basilika Santo Petrus yang sungguh besar dan indah, saya membantu Bapa Kardinal mengenakan busana liturgi untuk Misa. Tiap hari ada puluhan Misa yang dilangsungkan di berbagai kapel/altar di dalam basilika ini. Ada beberapa puluh amik yang terlipat dan ditumpuk rapi di ujung meja. Di sebelahnya ada setumpuk singel, dan di dekatnya ada rak gantungan yang berisi 25-an alba berbagai ukuran. Di sisi yang lain, ada rak gantungan yang sama yang berisi 25-an kasula berbagai ukuran pula. Saya memintakan kasula khusus untuk selebran utama yang uskup, yang disimpan di ruang lain. Selesai membantu Bapa Kardinal, saya pun bergegas mengenakan jubah dan superpli saya sendiri yang dari tadi belum sempat saya kenakan.
Setelah semua siap, kami membungkuk di depan salib dan mulai berprosesi menuju tempat Misa. Layaknya misdinar di Vatikan, saya berjalan di depan menunjukkan jalan. Di tangan kanan saya ada tempat anggur dan air, dan di tangan kiri saya TPE Imam dan map berisi doa-doa dan bacaan Misa yang saya sudah siapkan. Piala biasanya dibawa imam selebran sendiri dari Sakristi; dalam kesempatan ini Romo Tommy yang mebawanya. Sekitar 20an romo, suster, dan umat Indonesia hadir dalam Misa Jumat pagi ini. Atas persetujuan Bapa Kardinal, untuk hari ini saya siapkan doa dan bacaan dari Misa Votif Yohanes XXIII. Bapa Suharyo menyampaikan homili yang sangat relevan mengenai almarhum Paus Yohanes XXIII, gembala yang baik yang membawa Gereja kepada pembaharuan lewat Konsili Vatikan II. Peringatan Wajib Fransiskus dari Asisi yang harusnya dirayakan hari ini, atas persetujuan Bapa Suharyo, akan kami rayakan Rabu depan di Basilika Santo Fransiskus di kota Asisi, di mana sang santo dimakamkan.
Misa di Altar St. Yohanes XXIII
di Basilika Santo Petrus
Ki: Romo Tommy, Ka: Romo Silwester
(Foto: Romo Adi)
|
Misa di Altar St. Yohanes XXIII
di Basilika Santo Petrus
Ki: Romo Tommy, Ka: Romo Silwester
(Foto: Romo Adi)
|
Usai Misa Jumat pagi, beberapa anggota rombongan melanjutkan kunjungan ke beberapa basilika dan obyek wisata di Roma. Saya sendiri ngopi di dekat Generalat Jesuit, bersama Romo Purbo, Romo Adi, Romo Steve, dan Romo Tommy, plus dua imam KAJ yang sedang studi lanjut: Romo Ricky di Jerman dan Romo Anton Baur di Roma. Jumat siang dan malam ini relatif santai buat saya, dan saya punya kesempatan mengunjungi kawan-kawan penjahit busana Gereja, Gammarelli dan juga Barbiconi, di daerah Pantheon.
Hari ketiga di Roma, Sabtu pagi, saya harus mengambil surat untuk Bapa Kardinal di Kantor Perayaan Liturgi Kepausan. Kantor ini ada di dalam kompleks Istana Apostolik. Setelah melalui beberapa penjaga dan berbekal surat ijin dari penjaga ketiga yang saya temui, sampailah saya di kantor MC Liturgi Kepausan. Di sana saya mengambil surat-surat resmi untuk Bapa Kardinal, yang sebelumnya sudah kami terima melalui e-mail. Tidak ada yang baru, kecuali satu buku panduan kecil dalam Bahasa Inggris tentang Ritual Possessio atau Pengambilalihan Gereja Paroki Tituler (Kehormatan) yang dianugerahkan Paus kepada setiap kardinal baru. Ini buku panduan pastoral-liturgis yang menarik, dan saya baru pertama kali ini melihatnya. Semoga suatu saat nanti ada kesempatan untuk membahasnya.
Usai mengambil surat, saya menuju Euroclero untuk mengambil jubah Bapa Kardinal yang sudah selesai dipermak. Dari sana saya kembali ke penginapan untuk menyetrika jubah-jubah itu. Saya memang biasa melakukan urusan ini sendiri, demi kerapian dan keindahan busana uskup atau kardinal. Menyetrika jubah model Romawi memang tidak mudah bagi yang tidak biasa. Ploinya ada 3 buah, 1 di belakang, dan 2 di samping, kiri dan kanan. Hari itu sungguh adalah hari yang beruntung buat saya. Tuhan menunjukkan saya suatu binatu kecil hanya beberapa langkah dari pintu gerbang penginapan. Wah, senang sekali saya. Seorang wanita Romania separuh baya yang menjaganya. Ia mau membantu saya menyetrika 2 jubah, 1 rochet dan 1 mozetta Bapa Kardinal. Saya tidak perlu pinjam setrika dan meja setrika ke suster di penginapan. Di binatu ini saya membantu sang ibu Romania itu menyetrika. Ia memakai setrika uap profesional yang bagus, yang dengan tanpa kesulitan bisa menghilangkan segala kerutan dan bekas lipatan.
Siang itu saya naik taxi dari penginapan saya ke penginapan Bapa Kardinal di Vatikan. Agak mahal memang, tapi saya harus membawa jubah-jubah yang panjang dan berat. Saya masuk ke Vatikan lewat pintu samping, Porta del Perugino. Penjaga tidak menyetop saya. Ia tersenyum melambai dan membiarkan saya yang sudah rapi dengan jas resmi berlalu sambil membawa jubah kardinal warna merah dalam plastik laundry. Ini hari besar di Vatikan. Sore ini akan ada upacara pelantikan 13 kardinal oleh Paus. Kesibukan terlihat di beberapa tempat.
Bapa Kardinal telah bersiap-siap ketika saya dipersilakan masuk ke kamar beliau. Beliau telah mengenakan celana panjang selutut dan kaos kaki kardinal warna merah yang tingginya hampir mencapai lutut pula. Tidak lama kemudian Romo Tommy yang akan berperan sebagai Sekretaris pendamping Bapa Kardinal dalam consistorium juga datang bergabung. Saya membantu Bapa Kardinal mengenakan seluruh busananya sementara Romo Tommy mengabadikan proses ini untuk dokumentasi pribadi. Mulai dari kemeja putih dengan French-cuff plus mansetnya, lalu Roman collar dengan rabat merah dan kancingnya, lalu jubah merah dan sabuk merah, kemudian rochet dan mozetta merah, dan terakhir salib pektoral yang digantung dengan tali warna merah-keemasan. Sampai di situ saja, karena solideo alias topi kecil bundar dan biretta alias topi kotak merahnya nanti akan dikenakan oleh Paus saat upacara. Saya juga membantu Romo Tommy merapikan busananya, yang sesuai ketentuan MC Liturgi Kepausan adalah jubah hitam lengkap dengan sabuk hitamnya. Superpli untuk Romo Tommy nanti akan disediakan di basilika. Oh iya, Bapa Suharyo sungguh amat rapi. Tidak hanya dalam berbusana, kamar beliau pun luar biasa rapi dan teratur. Tempat tidurnya tertata rapi seperti belum pernah digunakan. Di atas meja kerjanya hanya ada beberapa kertas dan satu buku tertumpuk rapi dan sebuah rosario. Saya yang pernah menyampirkan jas saya sembarangan di kursi jadi malu saat beliau tawari gantungan untuk menyimpannya di lemari.
Usai menata busana Bapa Kardinal;
siap untuk upacara pelantikan
(Foto: ABW)
|
Ketika tiba saatnya untuk berangkat, kami bertiga meninggalkan kamar Bapa Kardinal. Di lobby Casa Santa Marta, kami bertemu Kardinal John Ribat MSC dari Papua Nugini. Beliau dengan hangat menyampaikan selamat. Beliau sampaikan, tidak ikut hadir di acara consistorium ini karena lupa membawa busana yang tepat. Memang, salah kostum di acara resmi seperti ini bisa jadi pusat perhatian. Menyolok sekali kalau ada satu yang pakai jubah hitam di tengah hampir seratus yang lain yang pakai jubah merah.
Pengawal Swiss dengan busana warna-warninya mengambil sikap siap dan memberi hormat saat kami keluar lewat pintu depan Casa Santa Marta. Memang demikianlah sikap mereka saat di dekatnya melintas seorang uskup atau kardinal. Kami bertiga masuk ke Basilika Santo Petrus lewat pintu kecil di samping, pintu khusus untuk para kepala negara, diplomat, dan tamu VVIP, serta para kardinal dan uskup. Di dalam basilika, Bapa Kardinal sempat melewati rombongan inti dan menyapa mereka. Tidak lama kemudian saya mengantar beliau dan Romo Tommy menuju sakristi sementara yang terletak di dekat Patung Pieta Michelangelo. Tidak lama lagi, perarakan masuk Paus dan para kardinal baru akan dimulai dari sini. Saya pun kembali ke bagian depan basilika, dan duduk manis di bagian samping kiri, kira-kira 20 meter di samping belakang kursi yang disediakan untuk Bapa Kardinal.
Upacara dimulai tepat 16:00. Detil selanjutnya seperti yang saat itu disiarkan secara live oleh Kantor Berita Vatikan. Videonya bisa dilihat di sini: https://www.youtube.com/watch?v=wlJKa7qMYCI
Upacara pelantikan kardinal ini tidak dilakukan dalam Misa. Ritualnya relatif sederhana dan video itu panjangnya 1 jam 15 menit termasuk prosesi masuk dan keluar. Dimulai dengan tanda salib dan salam pembuka oleh Paus, seorang kardinal mewakili yang lain kemudian menyampaikan sambutan dan terima kasih kepada Paus atas pengangkatan mereka sebagai kardinal. Paus lalu memimpin doa pembuka. Berikutnya dibacakan sebuah perikop dari Markus 6:30-37a, dan disambung khotbah singkat dari Paus. Setelah dua menit saat hening, Paus kemudian menyampaikan kata pengantar dan menyebut nama para kardinal baru. Satu persatu mereka berdiri saat disebutkan namanya. Kardinal Suharyo berada di urutan ketiga. Setelah itu, para kardinal menyampaikan Pernyataan Iman mereka, dan disambung janji dan sumpah untuk setia kepada Kristus dan Injil-Nya, dan senantiasa patuh kepada Gereja Romawi yang Kudus dan Apostolik, serta kepada Paus. Setelah itu, satu persatu mereka maju dan menerima biretta—topi merah segi empat—dari Paus. Warna merah topi ini adalah lambang kesediaan para kardinal untuk bertindak dengan berani, bahkan sampai menumpahkan darah, demi peningkatan iman Kristiani, kedamaian umat Allah dan kebebasan dan pertumbuhan Gereja Romawi yang kudus. Mereka juga menerima cincin dari Paus, dan sebuah surat keputusan penganugerahan sebuah Gereja Paroki Kehormatan di Roma. Untuk Bapa Ignatius Kardinal, dianugerahkan Gereja Paroki Spirito Santo alla Ferratella, di selatan kota Roma, tidak jauh dari lokasi Kedutaan Besar Indonesia untuk Takhta Suci. Upacara ini lalu diakhiri dengan Doa Bapa Kami dan doa penutup serta berkat dari Bapa Suci.
Untuk acara ini, Pemerintah RI diwakili oleh Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, yang sempat diterima Paus sebelum upacara dimulai. Menag terlihat duduk di baris paling depan untuk para pejabat negara, persis di belakang para kardinal baru. Di belakang beliau, terlihat pula Menteri Ignasius Jonan beserta istrinya yang hadir sebagai pribadi, dan Romo Agustinus S. Purnama MSF, imam dari Indonesia yang menjadi Superior General MSF dan berkantor di Roma.
Menag Lukman Hakim diterima Paus,
sebelum Consistorium dimulai
(Foto: Vatican Media)
|
Menag Lukman Hakim, Menteri Jonan & istri,
dan Romo Pur di Consistorium
(Foto: Vatican Media)
|
Oh ya, kalau di video Anda melihat wajah orang Indonesia yang duduk persis di belakang Bapa Kardinal, itulah Romo Tommy Octora. Ada 1 lagi imam Indonesia di deretan para sekretaris itu: Romo Markus Solo SVD, satu-satunya imam Indonesia yang bekerja di Vatikan. Ia mendampingi kardinal yang pertama, Kardinal Ayuso Guixot MCCJ, atasannya, Presiden Dewan Kepausan untuk Dialog Antar Umat Beragama, yang hari itu juga menerima martabat kardinal dari Paus.
Romo Tommy mendampingi
Kardinal Suharyo
(Foto: Vatican Media)
|
Romo Markus Solo mendampingi
Kardinal Ayuso Guixot MCCJ
(Foto: Vatican Media)
|
Paus dan para kardinal baru usai pelantikan
(Foto: Vatican Media)
|
Selesai upacara pelantikan, Paus Franciscus mengajak para kardinal baru mengunjungi Paus Emeritus Benedictus XVI di kediamannya di Biara Mater Ecclesiae, masih di dalam tembok Vatikan. Para kardinal baru mendapat giliran menyapa Paus Emeritus satu persatu. Pada akhir acara, semua yang hadir menerima berkat dari Paus Emeritus.
Berkat dari Paus Emeritus untuk para kardinal baru
(Foto: Vatican Media)
|
Para kardinal baru kemudian diantar menuju ke tempat yang disediakan untuk menerima tamu-tamu yang akan memberikan ucapan selamat. Kardinal Suharyo bersama 9 kardinal non-kuria lain mendapat tempat di Aula Paulus VI. Di sana beliau menerima ucapan selamat dari lebih dari seratus imam dan umat Katolik Indonesia. Turut memberi selamat Don Fabio Salerno, mantan Sekretaris Pertama Kedubes Vatikan di Jakarta. Ada juga Sekjen KWI, Mgr. Anton, yang ikut hadir di consistorium dengan busana ungunya. Suasana Indonesia benar-benar terasa di situ. Mereka yang hadir berfoto-foto dan juga bersama menyanyikan berbagai lagu dalam bahasa Indonesia, yang—dinyanyikan nun jauh di Vatikan—sungguh membangkitkan rasa cinta, bangga, dan rindu pada tanah air.
Kuria Keuskupan Agung Jakarta dan Romo Hani
bersama Bapa Kardinal di Aula Paulus VI
Ki-Ka: Romo Ary, Romo Purbo, Romo Hani,
Romo Steve, Bapa Kardinal, Romo Adi,
Romo Edi, dan Romo Samuel
(Foto: ABW)
|
Para imam dan umat Katolik Indonesia
bersama Bapa Kardinal di Aula Paulus VI
(Foto: Romo Hani)
|
Bapa Kardinal bersama kakak ipar
dan adik-adik beliau di Aula Paulus VI
(Foto: Romo Hani)
|
Romo Tommy bersama Bapa Kardinal
di Lobby Casa Santa Marta
(Foto: ABW)
|
Bersambung di Bagian II: (Kardinal Suharyo berkonselebrasi dengan Paus Franciscus, dan kisah selanjutnya)
Mau tanya mas kalo untuk keseharian nya apakah punya pekerjaan lain atau hanya fokus di gereja dan liturgi?
ReplyDeleteSaat ini saya sudah pensiun dari bisnis dan menyediakan diri untuk berbagai macam pelayanan Gereja. Masih ada "bisnis" yang saya jalankan, yaitu busana Gereja.
DeleteBisa dilihat di sini: https://tradisikatolik.blogspot.com/2017/09/belanja-online.html
DeleteSelamat malam pak.
ReplyDeleteJujur saya sangat senang membaca tulisan bapak di blog ini.
Saya ingin bertanya pak, apakah ada syarat umur yg khusus bagi seseorang menjadi MC? Karena saya awam dan masih terbilang sangat muda, tetapi saya ingin menjadi MC karena ketertarikan saya terhadap liturgi dan terlebih melihat Mgr. Guido Marini. Terlebih saya kebetulan di paroki Katedral di salah satu keuskupan di sumatera yg sampai saat ini pun belum memiliki MC. Apakah kita sebagai awam boleh mengusulkan kepada romo kepala paroki agar membuat pelatihan/perekrukat MC? Mengingat di dalam tulisan bapak di Katedral disarankan adanya MC. Dan apakah ada rujukan judul buku atau artikel mengenai liturgi yang bapak sarankan? Terimakasih banyak pak.
Pak Benhard terkasih,
DeleteBanyak jalan untuk menjadi MC. Salah satunya adalah dengan menawarkan diri kepada romo atau uskup. Sama seperti seorang Event Organizer yang hendak menawarkan jasanya, calon MC Liturgi pun perlu mempunyai pengetahuan dan ketrampilan (dan baik juga kalau ada pengalaman) yang memadai agar pemilik acara mau menggunakan jasanya.
Buku yang paling dasar adalah PUMR dan Ceremonial of Bishops. Selanjutnya, bisa mulai dengan baca-baca artikel-artikel di Blog TK ini.
Salam,
Albert
Pak,kalau saya perhatikan, kok bapak sedikit mirip Bapa Uskup Bandung, Mgr. Antonius Subianto Bunjamin ya?
ReplyDeleteMungkin sama-sama putihnya ya.
DeleteNovena Santo Yudas Tadeus
ReplyDeleteRasul yang amat suci Santo Yudas Tadeus, Pelayan dan sahabat Yesus yang setia, Gereja semesta menghormati dan memohon padamu, sebagai penolong dari masalah-masalah yang tampaknya tidak ada jalan keluarnya.
Doakanlah aku, karena aku merasa sendirian dan tidak mempunyai penolong. aku mohon padamu gunakanlah kekuatan khusus yang diberikan kepadamu untuk memberikan kepadaku bantuan nyata dan sesegera mungkin disaat aku merasa bahwa bantuan itu hampir tidak ada.
Dampingilah aku dalam kebutuhanku yang mendesak ini, sehingga aku boleh menerima penghiburan dan bantuan surgawi atas semua kebutuhan, masalah dan penderitaanku, khususnya…………………………..(Sebutkan permintaan anda)
dan sehingga aku akan memuji Tuhan bersamamu dan semua orang terpilih selamanya.
Aku berjanji, Oh Santo Yudas Tadeus, untuk selalu mengingat bantuan besar ini, untuk selalu menghormatimu sebagai rasul yang istimewa dan perkasa, dan untuk meningkatkan devosi kepadamu. Amin.
Semoga Hati Yesus yang Mahakudus selalu dihormati, dicintai disemua Tabernakel sampai akhir jaman. Amin.
Semoga Hati Yesus yang Mahakudus selalu dihormati, dan dimuliakan sekarang dan selama-lamanya. Amin.
Terberkatilah Hati Kudus Yesus
Terberkatilah Hati Maria Yang Tak Bernoda
Terberkatilah Santo Yudas Tadeus di seluruh bumi dan selalu sepanjang masa. Amin
Kemuliaan
Kemuliaan kepada Bapa dan Putera, dan Roh Kudus
Seperti pada permulaan sekarang selalu dan sepanjang segala abad, Amin
Terpujilah
Terpujilah nama Yesus, Maria, dan Santo Yosef, sekarang dan selama-lamanya. Amin.
Tanda Salib
Demi nama Bapa dan Putera dan Roh Kudus. Amin
Catatan
Ucapkanlah doa novena ini pada saat Anda menghadapi masalah besar dan kehilangan semua bantuan yang ada atau tak menemukan jalan keluar atas masalah tersebut.
Novena ini sebaiknya didoakan enam (6) kali sehari, selama sembilan (9) hari berturut-turut.
Sebaiknya doa novena ini dicetak (diprint) atau ditulis tangan, lalu tinggalkanlah doa novena ini agar ditemukan orang lain. Dengan demikian, Anda telah ikut mewartakan doa novena ini kepada sesama.
Doa ini akan dijawab pada hari ke 9 atau sebelumnya dan belum pernah gagal.